IAIN: PBAK dan Persoalannya

Kegiatan pra Pengenalan Budaya Akademik Kampus (PBAK) di Aula kampus 2 IAIN Gorontalo, Selasa (20/8). Foto: Humanika. 



Dalam peliputan ini, salah satu jurnalis Lembaga Pers Mahasiswa Humanika mengalami pemukulan oleh preman sekaligus pemegang proyek di PBAK 2019.
***


Pengenalan Budaya Akademik Kampus (PBAK) merupakan program Kementrian Agama yang diberikan kepada kampus untuk dikelolah oleh seluruh civitas akademik. PBAK adalah kegiatan tahunan yang diadakan kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Gorontalo, untuk menyambut mahasiwa baru (maba). Setiap tahunnya PBAK mendaptakan dana tetap dari kampus untuk oprasionalnya. Dana itu digunakan oleh panitia pelaksana untuk memenuhi berbagai macam keperluan selama kegiatan berlangsung.

Namun dana yang diberikan tersebut masih tidak cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan selama PBAK, salah satunya pengadaan atribut peserta PBAK yang masih harus dipenuhi oleh maba. Berdasarkan tata tertib peserta PBAK tercantun enam atribut tambahan yang wajib dibawa oleh seluruh mahasiswa baru (maba) selain atribut inti.

Keenam atribut ini dibacakan oleh ketua steering committe Rahmat Toan Barusi, pada pra PBAK Senin (19/8) di aula kampus 2 IAIN Sultan Amai Gorontalo. Atribut-atribut ini berupa kaus warna merah, sapu lidi, keranjang sampah, topi petani, slayer, dan pin. Semua atribut ini harus berlogo PBAK 2019,

"Sedangkan logo PBAK 2019 hanya ada sama panitia, di Google, kan tidak ada. Kami bingung mau cari di mana? Tapi anehnya ketika keluar dari aula, di depan sudah ada yang jualan semua atribut yang diminta panitia lengkap dengan logo," Ucap Ambar (bukan nama sebenarnya) ketika ditemui di taman kampus 2 IAIN Gorontalo, Senin (19/8) selepas Isya.

Ia sengaja mengajak bertemu di tempat sepi karena takut diketahui oleh panitia. Ambar adalah salah satu maba dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). Keenam atribut ini dijual dengan harga lebih mahal dari yang dijual di pasaran: pin dijual dengan harga Rp. 20.000, sapu lidi Rp. 25.000, keranjang sampah Rp. 25.000, slayer Rp. 35.000, topi petani Rp. 45.000, dan kaus seharga Rp. 70.000.

"Mereka menjualnya terlalu mahal. Masa pin yang harganya lima ribu dijual jadi dua puluh ribu? Kausnya juga, dijual seharga tujuh puluh ribu. Padahal kualitas kainnya tidak bagus, mirip kaus partai. Tidak sebanding dengan harganya." Ujar salah satu maba ketika mengunjungi tenda Lemba Pers Mahasiswa Humanika setelah sosialisai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) berlangsung, Selasa (20/8).

Sebelumnya pada pra PBAK, Rahmat sempat bertanya mengenai kesediaan maba terkait enam atribut tersebut. Namun sebagian maba tidak setuju dengan ketentuan yang diberikan. Rahmat seakan tidak menerima dan menginginkan semua maba sepakat. Ketika pra PBAK sedang berlangsung, salah satu maba bertanya terkait kejelasan atribut tambahan yang diminta panitia.

Menanggapi itu Rahmat menegaskan bahwa tidak ada aturan rektor yang mengatur mengenai atribut maba, ia juga mengatakan jika maba tidak membawa atribut yang sudah dipesan, maba tidak dapat mengikuti PBAK dan otomatis tidak mendapatkan sertifikat.

Salah satu maba Fakultas Ushuluddin dan Dakwah (FUD), Wati (bukan nama sebenarnya) juga mengeluhkan harga atribut yang lebih mahal tersebut. Dia terpaksa membeli karena Rahmat  mengatakan bahwa atribut-atribut itu wajib untuk dibawa oleh maba.

"Kak Rahmat, ketua Steering itu bilang panitia tidak menjual semua atribut tersebut. Tetapi setelah keluar dari aula, tiba-tiba saja sudah ada yang menjual enam atribut tambahan yang diminta dan sudah ada logo, persis seperti yang panitia minta." Ujarnya ketika ditemui saat sedang beristirahat di taman kampus pada Selasa, (20/8).

Karena melihat ada yang menjual atribut yang dipesan panitia, Wati segera membeli kaus, slayer, dan pin. "Saya membelinya karena panitia menegaskan bahwa atribut itu wajib, yang tidak punya atribut itu tidak boleh mengikuti PBAK. Padahal kondisi keuangan saya menipis."

Peraturan mengenai enam atribut tambahan tersebut, rupanya tidak diketahui oleh seluruh panitia. Abdul (bukan nama sebenarnya) salah seorang panitia PBAK yang membenarkan hal tersebut. Kami sepakat untuk bertemu di tempat yang agak jauh dari kampus setelah kegiatan PBAK pada hari Rabu (21/8) selesai. Dia juga meminta untuk dirahasiakan identiasnya. "Saya takut didatangi preman." Ujarnya dengan raut wajah serius dan sesekali memperhatikan keadaan sekitar.

Abdul mengatakan bahwa dia dan teman-teman panitia lainnya kaget ketika melihat maba yang membeli beberapa benda yang mereka tidak tahu itu untuk apa. "Saya menanyakan kepada salah seorang maba, ternyata harganya lebih mahal. Biasanya keranjang sampah harganya lima ribu atau sepuluh ribu yang paling mahal, tapi mereka beli dengan harga dua puluh ribu. Maba itu bilang karena itu ada logonya, padahal logo itu hanya ada pada beberapa orang panitia."

Menurut Abdul, ada beberapa titik tempat penjualan atribut tersebut. Selain di depan aula, di dekat Asrama Putri (Aspuri) lama, dan dekat gedung pasca sarjana. Abdul sendiri tidak mengenali siapa penjual itu. Tapi temannya mengenali salah seorang dari mereka karena sama-sama menjadi kader di organisasi mahasiswa ekstra kampus.

Iyas (bukan nama sebenarnya) juga mengaku tidak mengetahui tentang atribut tambahan yang harus dibawa oleh maba. "Di dalam aturan itu atribut yang maba gunakan hanyalah untuk konfigurasi, seperti tahun kemarin. Kalau untuk atribut tambahan tidak ada dalam aturan, Rahmat sendiri yang membuat itu saat penyampaian kepada maba." Iyas menambahkan bahwa Rahmat juga tidak pernah merapatkan mengenai atribut tambahan yang harus dibawa oleh maba.

Senat Mahasiswa (Sema) Institut adalah Organisasi Mahasiswa (Ormawa) yang mempunyai wewenang membuat aturan mengenai tata tertib peserta dan panitia PBAK, sekaligus sebagai pemantau pelaksanaan PBAK.

Tata tertib PBAK dibuat tiga minggu sebelum pelaksanaan kegiatan. Tata tertib ini dibuat dengan mengacu pada SK Dirjen No.4962 yang mengatur pada mekanisme PBAK dan telah menghasilkan tata tertib untuk panitia dan peserta. Tata tertib ini kemudian diserahkan kepada panitia, namun yang diterima hanyalah tata tertib untuk panitia. Sedangkan untuk tata tertib peserta akan dirancang oleh steering committe.  

"Dalam tata tertib panita terdapat poin yang berbunyi bahwa panitia dilarang mengumpulkan dana dan atau mengarahkan peserta untuk membeli segala sesuatu diluar ketetapan PBAK. Jika tata tertib itu dilanggar hukuman paling berat adalah dikeluarkan dari kepanitaan." Ujar Bambang Bambuena selaku ketua SEMA, ketika ditemui Selasa (20/8).

"Ketika panitia mewajibkan peserta untuk membeli atribut dan harus ada logo PBAK, sedangkan logo terebut hanya ada pada panitia, berarti itu bisa dikatakan pengarahan. Untuk hal itu telah kami bicarakan dan sampai hari ini masih menunggu ketua steering-nya, Rahmat Toan Barusi dan akan kami bicarakan lebih lanjut karena memang sampai hari ini kami belum mengetahui kejelasannya," Lanjutnya.

Selaku penanggungjawab kegiatan PBAK, ketua Dewan Mahasiswa (DEMA) Agung Datau menanggapi perihal panitia yang mengarahkan maba untuk membeli atribut berlogo PBAK, ketika ditemui di sekretariat panitia Selasa (21/8).

Agung Datau mengaku bahwa dia tidak mengetahui tentang panitia yang mewajibkan maba untuk membeli enam atribut dengan logo PBAK, karena tidak ada koordinasi antara panitia dengan DEMA.
  
"Saya termotivasi dari IAIN Tulungagung ketika PBAK mereka mengenakan atribut yang khas. Jadi saya meminta kepada panitia untuk menonjolkan ciri khas Gorontalo, tetapi dengan tidak memaksa maba. Makannya saya kaget, ada yang bilang kalau maba tidak mengadakannya, tidak boleh ikut PBAK. Begitu juga dengan atribut yang harus punya logo. Ketika saya tanya ke Rahmat selaku ketua steering, dia juga bilang tidak pernah mengatakan itu ke maba."

Agung kemudian mengadakan rapat Senin (19/8) malam dengan seluruh panitia, tetapi rapat itu tidak dihadiri oleh ketua steering. Menurut Agung saat itu Rahmat Toan Barusi sedang menghadiri kegiatan lain. Dalam rapat itu, Agung meminta panitia untuk meniadakan pembelian enam atribut tambahan yang harus berlogo PBAK 2019.

Ketika diwawancarai mengenai pengadaan atribut yang wajib dibawa maba dan harus memiliki logo, Rahmat mengatakan bahwa dia dan empat orang anggota steering committe pada Minggu (18/8) malam, merapatkan mengenai atribut tambahan yang dirasa perlu untuk dibawa oleh maba. "Karena sudah malam dan panitia lainnya sudah pulang. Saat itu juga HP saya mati, jadi tidak sempat mengabarkan pada panitia lain mengenai hasil rapat." Ujarnya. Kemudian hari Senin (19/8) pagi, dia mengumumkan tata tertib peserta dan juga atribut yang perlu mereka bawa.

"Saya tidak pernah mewajibkan maba untuk membeli atribut PBAK. Saya membacakan dengan jelas mengenai atribut tambahan selain pita yang sesuai warna fakultas, dan bendera merah putih itu merupakan atribut inti. Sedang atribut tambahan itu ada enam, tetapi saya tidak mengarahkan, silahkan mereka beli di mana saja. Yang penting enam atribut tambahan tersebut ada logo PBAK." Ujar Rahmat.

Dia menambahkan bahwa logo PBAK telah dikirim ke grup Whats App maba pada Senin (19/8) malam. Sedangkan di waktu yang sama Senin malam, ketua Dema Institut Agung Datau mengumumkan hasil rapat bahwa pengadaan enam atribut tambahan dengan logo PBAK 2019, ditiadakan. Rahmat juga mengaku tidak mengenal siapa penjual atribut PBAK yang secara tiba-tiba sudah ada di dalam kampus.

Karena atribut tambahan yang wajib dibawa oleh maba telah ditiadakan oleh panitia, membuat kecewa maba yang terlanjur membeli. Menanggapi hal ini, Agung mengatakan akan memberikan hadiah kepada maba yang telah membeli atribut tambahan tersebut. "Kami akan memberikan reward kepada maba yang telah membeli, dipanggil ke depan dan diberi hadiah. Karena jika diminta untuk mengembalikan uang mereka, kami tidak bisa. itu bukan tanggungjawab kami."

Kurang lebih dua ratus orang maba telah membeli beberapa atribut tambahan yang dijual di dalam kampus. Banyak yang merasa rugi ketika panitia mengumumkan pembatalan pengadaan atribut tambahan pada Selasa (20/8). Salah seorang maba Fakultas Syariah asal Bolaang Mongondow (Bolmong) mengatakan merasa rugi karena telah menghabiskan uang sebanyak Rp. 125.000 untuk membeli kaus, pin, dan slayer.

"Saya merasa sangat rugi, uang sebanyak itu masih bisa digunakan untuk membeli makan. Karena kemarin katanya itu wajib, kalau tidak berarti tidak bisa ikut PBAK. Jadi saya terpaksa beli." Ujarnya sedikit kesal. "Terus kata panitia, yang sudah beli akan diberikan hadiah. Mungkin hadiahnya ucapan terimakasih, stau.” Katanya dengan logat Bolmong yang kental.

 PBAK dan Dugaan Pungli

"Banyak ancaman yang saya terima, sehingga lebih baik PBAK berjalan lancar dan mereka diberikan proyek." Ujar Kholis (bukan nama sebenarnya) sembari mengingat-ngingat ketika dia menjadi panitia PBAK beberapa tahun lalu. Kholis juga bercerita pada saat itu, beberapa pentolan dari organisasi-organisi ekstra yang cukup berpengaruh di kampus menawarkan proyek seperti perlengkapan yang diperlukan maba. Panitia terpaksa menerima proyek itu karena tidak punya pilihan lain, jika tidak mereka akan mengacaukan PBAK dengan cara menyewa preman.

Ketika itu panitia memungut uang dari maba dengan dalih pembelian atribut PBAK. Agar tidak terindikasi pungutan liar (pungli), mereka meminta persetujuan seluruh maba dan membuat kesepakatan tertulis. "Waktu itu kami memungut uang sebesar dua ratus ribu per orang, sedangkan jumlah maba saat itu sekitar seribu lebih. Jadi setiap orang yang memegang satu proyek, keuntungannya bisa puluhan juta."

Hampir setiap tahunnya proyek-proyek seperti ini selalu ada, tetapi praktiknya berbeda. Seperti mengharuskan maba membawa atribut dengan identitas tertentu yang tidak bisa didapat dari tempat lain. Menurut Kholis praktik seperti itu juga terjadi pada PBAK tahun 2019.  "Itu kan
 panitia. Sudah dipastikan logo PBAK tidak ada di manapun, karena yang punya logo hanya panitia. Sehingga narasi 'bebas mencari di tempat lain' akan terbantahkan dengan karena tidak ada logo."

Raka (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu anggota panitia PBAK beberapa tahun lalu, mengaku selain dana yang sudah didapatkan dari kampus, mereka juga mendapatkan dana hasil pungutan dari maba. Kemudian  membaginya dengan orang-orang yang memegang proyek di PBAK. Dana tersebut akhirnya menjadi rebutan para pemegang proyek.

"Waktu itu preman yang mengawal ketua Dema, mengejar dua orang teman panitia. Pokoknya seperti di film lah." ujarnya tertawa pelan sembari mengisap sebatang rokok.


Reporter: Cakra, Syahrul, Arinda
Penulis: Arinda

Komentar