Konstalasi Politik Kampus: Antara Sentimen Ideologi ataukah Naluri Para Mafia?


Ilustrasi









Penulis: Grotta Azzura 

Perhelatan Kampus telah usai, berjalan sesuai dengan regulasi yang sudah disepakati, siapa yang unggul dalam hitungan suara sudah resmi diumumkan panitia. Semua sudah selesai dan lancar yang tersisa hanyalah perseturuan dan rasa ketidakpuasan dari sebagian pihak. 

Timbul tuntutan Peninjauan Kembali hasil PEMILMA, lalu mengadakan pemilihan kembali meski tidak sesuai syarat, jumlah dan  prosedur, tetap saja hasilnya diumukan juga. Kondisi ini menimbulkan tanda tanya, bukan soal siapa yang akan diberikan SK oleh Rektor, tapi ada apa dibalik motif sebagian pihak ngotot untuk memaksakan kehendaknya? 

Apa motif sesungguhnya dibalik kontestasi, koalisi, kompetisi yang diwarnai dinamika politik Mahasiswa? Kejadian serupa bukan kali pertama terjadi, sejak masa-masa para pendahulu pun hal ini sudah biasa terjadi, mulai dari kasus penikaman, pemukulan, hingga hilangnya kotak suara.

Kejadian ini kembali terulang tahun 2021 ini, bagaimana mungkin jumlah suara sudah diketahui sebelum pemungutan suara? Jika sudah diketahui lalu apa urgensi diadakan pemungutan suara? Lagi-lagi hal ini seolah sengaja dilakukan untuk memunculkan kembali  pertanyaan konyol semacam ini. 

Sentimen Ideologi

Kampus itu hampir saja mirip dengan miniatur sebuah masyarakat, mirip dengan miniatur sebuah negara. Kampus menjadi sarang kaderisasi dari berbagai macam kelompok dan aliran politik. Percaturan antar Ideologi suatu negara selalu terbangun secara substitusi, terjalin simbiosis mutualisme dengan kampus, otomatis pertarungan antara ideologi itu jelas selalu menghiasi dinamika politik mahasiswa. Di sanalah mereka belajar, menempa potensi diri, talenta, dan lalu bergerak membangun relasi untuk masa depan suatu daerah, suatu bangsa, negara bahkan dunia. 

Dinamika pertarungan ideologi dalam suatu negara tak lepas juga dari konstalasi politik dan pertarungan ideologi dunia internasional. Olehnya kampus, negara dan dunia merupakan bagian dari siklus proses transfer ideologi. Hal ini sudah lumrah dalam kajian Globalisasi, Milenialisasi, entah apapun namanya. 

Diantara sekian banyak yang dianggap ideologi, bagi penulis, Ideologi dunia hanya ada tiga yang faktanya benar-benar saling bertarung dan berkompetisi, Sosialisme/Komunisme yang diwakili oleh Soviet, Kapitalisme yang diketuai oleh Amerika, dan Ideologi Islam yang diwakili oleh Ottoman Empire, pertarungan selama perang dunia 1 dan 2, hingga Kapitalisme yang berkuasa sampai detik ini.

Jangan heran, sentimen ideologi yang diajarkan masing-masing organisasi ekstra kampus selalu menjadi variabel yang mempengaruhi konstalasi politik kampus, baik organisasi kemahasiswaan hingga  merambat pada struktur birokrasi. 

Bagaimana pemetaanya? Silahkan diamati sendiri oleh pembaca, dalam kompetisi yang berjalan, siapa saja yang cenderung ke arah pemikiran sosialis, siapa yang nasionalis-sekuler, dan siapa yang cenderung ke Pan-Islamisme. Tapi satu hal yang jadi patokan, bahwa status keanggotaan seseorang dalam satu organisasi juga tidak selamanya jadi ukuran. Ukuran sebenarnya adalah pada gerak dan tindakan yang dia lakukan. Tetap sentimen Naluri dan kebutuhan perut selalu membuat Pragmatisme itu kadang lebih dominan dalam suatu bendera ataupun oknum. 

Sentimen Naluri

Manusia yang diberikan Akal dan juga kebutuhan Fisik (Hajatul Udhawiyah) serta kebutuhan Naluri (Al-Gharaaizh), semua itu bagian dari Nafsu yang akan dipenuhi dan dilampiaskan, sebagai sarana untuk mewujudkan kesempurnaan Pengabdian pada sang Ilahi Rabbbi sehingga inilah yang kadang lebih dominan menjadi asas dan tujuan tertinggi, bukan lagi sebagai sarana yang punya aturan pemenuhan, tapi berubah menjadi tujuan tertinggi. 

Orang-orang yang menjadikan naluri dan kebutuhan fisik inilah sebagai tujuan tertinggi, dengan cara-cara hasil improvisasi muslihat dan "Mus-lihai" dinamakan dengan mafia Kampus, mereka tidak takut memberontak, kalah secara politik, strategi dan intelektual secara jantan, mereka akan memakai jasa preman untuk tak segan-segan menganiaya kawan politik bahkan menganiaya para aktifis jurnalis  dan pers kampus yang vokal menyuarakan kebenaran dan membongkar konspirasi keji. 

Mereka mengincar anggaran OSPEK, yang setiap tahun dianggarkan oleh kampus, ingin mencari popularitas, dan akan melibas siapa saja yang dianggap "sok idealis, sok ikhlas" 
sekalipun itu adik kader sendiri, jika tidak mau ikut perintah senior, akan disingkirkan. 

Itulah Pragmatisme para mafia. Kampus menjadi jadi semacam sarang dari embrio calon penghianat masa depan, belajar memanipulasi, curang, dan buas.

Pesan Untuk Mahasiswa Baru, Pesan untuk Para aktifis Dakwah yang Mukhlis, untuk aktifis Pers dan Jurnalis Idealis. 

Para aktifis dakwah, Teruslah berjuang sampai titik darah penghabisan, buat adik-adik mahasiswa baru, ikutilah nurani dan akal sehat, jangan jual akal sehatmu demi sesuap nasi, demi secuil jempol manusia yang bisa ke atas dan ke bawah, bukan demi gombalan kekasih yang keluar dari lisan yang bisa diputar balik, yang lahir dari akal tumpul, bingung dan kalbu yang bolak balik. Para jurnalis, Aktifis Pers, Resimen Mahasiswa, jagalah marwah almamater kampus, jagalah Islam. 

Allahu a'lam.

Komentar

Posting Komentar