Gambar : Perempuan dalam stigma sosial pelecehan seksual (Sumber : Gramedia) |
Fenomena kekerasan dan pelecehan seksual menjadi masalah sosial di tengah masyarakat. Banyak korban penyintas yang mengalami kasus ini, bahkan belum sanggup untuk berani bersuara. Terutama bagi seorang perempuan yang selalu banyak menerima tindakan tidak bermoral seperti ini dari para oknum. World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa secara global sekitar 1 dari 3 (30%) perempuan di seluruh dunia pernah menjadi sasaran kekerasan fisik dan seksual oleh pasangan atau non-pasangan mereka. Sedangkan menurut Komisi Nasional (Komnas) Perempuan bahwa kasus pelecehan seksual sama halnya seperti fenomena gunung es karena ada banyak kasus yang sudah dilaporkan tapi bisa saja kasus lain yang belum terlapor masih lebih banyak lagi.
Setiap tahunnya selalu ada laporan dari data kasus kekerasan dan pelecehan yang didapatkan oleh individu tertentu di masyarakat. Berdasarkan data dari catatan tahunan Komnas Perempuan di Indonesia pada periode waktu 10 tahun terakhir sudah terdapat lebih dari 2,5 juta kasus yang dilaporkan. Pada hasil pencatatan untuk setiap kasus yang dikeluarkan pada akhir tahun saja di Indonesia untuk periode waktu sepanjang tahun 2023 terdapat sebanyak 401.975 kasus. Melalui catatan ini, juga dijelaskan bahwa karakteristik korban dan pelaku masih menunjukkan bahwa korban lebih mudah dan kebanyakan yang memiliki status lebih rendah dibandingkan pelaku.
Data Sistem Informasi Online (SIMFONI) Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) tahun 2021 memperlihatkan bahwa banyak kasus yang menimpa para korban bisa terjadi di berbagai tempat. Sehingga tidak heran jika kita bisa saja menemukan banyak kasus yang beredar di pemberitaan media bahwa tempat-tempat seperti tempat kerja, ibadah, serta tempat belajar dimungkinkan untuk para pelaku bertindak. Jika diingat lagi, tempat-tempat tersebut hanya merupakan lingkungan sekitar kita saja, sehingga para pelakunya terkadang juga merupakan orang-orang yang tak terduga bisa melakukan hal tersebut.
Dalam banyak kasus juga menunjukkan perempuan selalu menjadi target utama pelecehan seksual yang terjadi di masyarakat. Dari banyak penelitian menjelaskan bahwa korban kekerasan seksual lebih banyak didominasi oleh perempuan dibandingkan laki-laki. Seperti penelitian yang dilakukan oleh salah satu organisasi dalam bidang hak asasi manusia seperti Amnesty Internasional yang sering kali merilis laporan penelitian tentang kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia, yang menyoroti tingginya tingkat pelecehan seksual dialami perempuan dalam berbagai konteks.
Pada masyarakat Indonesia sendiri perempuan sebagai target utama pelecehan seksual adalah realitas yang sangat menyedihkan karena perempuan punya tanggung jawab untuk menjaga kehormatannya. Sehingga banyak kasus yang sering kali terjadi di masyarakat bisa saja mendiskriminasi para korban karena adanya stigma sosial. Seperti dari perpektif masyarakat yang bisa menyalahkan dari bagaimana sikap, perilaku, dan penampilan korban sampai bisa menerima pelecehan itu. Terkadang juga rasa malu, penghakiman, dan pengucilan yang didapatkan dalam lingkungan sekitarnya. Belum lagi tantangan korban yang harus dihadapkan karena tidak adanya dukungan, ruang, atau keadilan yang bisa diberikan karena status pelaku yang lebih memiliki kuasa.
Perempuan korban kekerasan dan pelecehan seksual pada masyarakat seringkali bisa dikategorikan pada status yang negatif. Bukan hanya pelaku saja yang dinilai tidak bermoral, namun korban pun memiliki stigma buruk tersendiri di lingkungan masyarakat sosial. Hal inilah yang dikhawatirkan bisa menjadi ancaman dalam identitas sosial bagi seorang korban untuk diri mereka sendiri. Dalam melawan stigma masyarakat sama halnya dengan meruntuhkan dinding bisu yang mendiskriminasi seorang korban penyintas. Seringkali realita dari penilain itu, masih dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang sesungguhnya tidak bisa menguntungkan bagi seorang korban. Oleh karena itu, jadi tidak mudah untuk seorang korban menerima masalah ini karena selain dari pelecehan yang diterima, hukuman sosial, dan kekecewaan, terdapat juga trauma secara psikis yang tidak tau akan sampai kapan dirasakan selalu.
Stigma negatif bukanlah solusi menghadapi fenomena sosial pelecehan seksual. Dari banyak kasus para pelaku menunjukkan bahwa kekerasan ini bisa saja didapatkan oleh siapa saja dan di mana saja. Seperti dilansir dari Detiknews lewat hasil survei Koalisi Ruang Publik Aman menyimpulkan bahwa tidak ada kaitan antara pakaian yang dikenakan oleh korban terutama perempuan yang banyak menjadi sasaran oknum pelecehan. Mereka menunjukkan sejumlah data dari pakaian yang dikenakan seperti rok panjang dan celana panjang (17,47%), disusul baju lengan panjang (15,82%), baju seragam sekolah (14,23%), baju longgar (13,80%), berhijab pendek/sedang (13,80%), baju lengan pendek (7,72%), baju seragam kantor (4,61%), berhijab panjang (3,68%), rok selutut atau celana selutut (3,02%), dan baju ketat atau celanan ketat (1,89%). Bahkan perempuan yang berhijab hingga bercadar masih bisa juga mengalami pelecehan (0,17%) sehingga data yang dihasilkan dari survey tersebut menunjukkan ada 19 jenis berpakaian dari yang tertutup hingga terbuka memiliki peluang masing-masing pada kasus yang terjadi.
Bahkan ruang aman bagi perempuan ternyata juga tidak dapat menjamin akan tidak terjadinya kasus pelecehan. Pada situs Kementrian Keuangan (Kemenkeu) Republik Indonesia yang juga menyoroti kasus ini, pelecehan yang diterima bisa didapatkan di mana saja pada ruang publik seperti di jalan, pasar, mall, di dalam kendaraan umum, di sekolah atau universitas, dan di tempat kerja. Jika melihat banyak pemberitaan dari media online yang ikut menginformasikan kepada masyarakat tempat ibadah juga bisa dijadikan para pelaku untuk bertindak. Selain itu dalam situs Kemenkeu juga dijelaskan bahwa pelaku bisa berasal dari manapun, baik itu orang terdekat maupun yang memiliki integritas tinggi sekalipun. Seperti data yang dilansir dari media Kompas bahwa Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) memberikan rincian data pelaku kekerasan seksual di lingkungan sekolah di bawah Kemendikbudristek dan Kementrian Agama merupakan guru :31,80% ; pemilik/pemimpin pondok pesantren : 18,20 %; kepala sekolah; 13,63 % ; guru ngaji (satuan pendidikan informal) : 13,63 % ; pengasuh asrama / pondok : 4,5 % ; kepala madrasah : 4,5 % ; penjaga sekolah : 4,5 % ; lainnya : 9 %.
Menanggapi maraknya kasus pelecehan di Indonesia, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan teknologi (Mendikbudristek) Nadem Anwar Makarim telah menetapkan secara resmi peraturan Nomor 46 Tahun 2023 tentang pencegahan dan penganiyaan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan (Permendikbudristek) sebagai payung hukum yang melindungi korban. Terdapat juga keputusan dari Menteri Ketenagakerjaan (Maneker) Ida Fauziyah, Nomor 88 tahun 2023 tentang pedoman pencegahan dan penganiyayaan kekerasan seksual di tempat kerja dan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2023 tentang ketenagakerjaan untuk melindungi para korban yang mendapatkan pelecehan dilingkungan kerja. Melalui undang-undang dan hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah menjadi pilar penting dalam memastikan perlindungan hak-hak mereka dalam masyarakat. Namun, pentingnya undang-undang ini tidak hanya terletak pada keberadaannya, tetapi juga pada implementasinya yang efektif.
Di banyak kasus, terdapat kesenjangan antara undang-undang yang ada dan praktik hukum sehari-hari. Misalnya, meskipun ada undang-undang yang melarang pelecehan seksual di tempat kerja, namun banyak juga korban yang melaporkan pelecehan menghadapi hambatan dalam mendapatkan keadilan. Menurut Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Lestari Moerdijat bahwa masyarakat yang sedang berjuang mencari keadilan menghadapi kasus kekerasan seksual hingga saat ini masih menghadapi banyak kesulitan. Dalam situs MPR juga dijelaskan bahwa Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengungkapkan mandeknya proses hukum kasus kekerasan seksual itu dirasakan saat pihaknya melakukan pendampingan hukum. Sehingga menjadikan sistem hukum terlalu berlarut-larut sampai jadi tidak efektif dan memadai bagi keadilan dan perlindungan korban.
Banyak kasus lain juga menunjukkan faktor ketidaksetaraan gender menjadi penyebab dalam terjadinya pelecehan seksual pada perempuan. Dibalik banyak kasus pelecehan, terdapat struktur kekuasaan yang tidak seimbang antara pria dan perempuan, yang memperkuat budaya dominasi kontrol. Melalui stereotype gender yang merendahkan perempuan sering kali memberi pembenaran bagi pelaku untuk melakukan pelecehan. Budaya yang menganggap perempuan sebagai objek secara tidak langsung memberikan izin bagi pelaku untuk memperlakukan mereka secara tidak hormat. Budaya yang membenarkan dominasi pria atas wanita juga sering kali menutupi kasus pelecehan karena rasa malu yang cendeung dirasakan korban. Padahal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menegaskan adanya kewajiban negara dalam menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua bidang kehidupan. Sehingga berbagai hukum dan pernyataan pemerintah hanya tinggal menunggu tindakan dan implementasi nyata dan benar untuk sebuah keadilan.
Penulis : Dela Rahmat ( Mahasiswi Universitas Negeri Gorontalo )
Komentar
Posting Komentar