![]() |
Add caption |
Oleh: Grotta Azzura
Jarum jam berputar ke kanan, semakin menyenangkan dan menghanyutkan. Begitupun keadaan dan situasi kampus yang nampaknya berjalan aman-aman saja. Padahal beberapa minggu lalu, kampus yang malang ini baru saja dihebohkan dengan kasus yang melibatkan aktivis dan petinggi ORMAWA (organisasi intra). Kejadian memalukan ini bukan hanya sekali terjadi tapi berkali-kali dan sudah menjadi rahasia umum. Adapun goresan sederhana ini bukan untuk mendramatisir keadaan ataupun membesar-besarkan masalah, bukan untuk menyalahkan, menyudutkan ataupun mencari kambing hitam. Tapi sebagai bentuk tanggung jawab-kritis penulis selaku mahasiswa yang punya hak untuk bicara dan mengawal kampus peradaban yang malang ini. Agar simfoni dalam syair Maher Zain mengalun ke dalam sukma, open our eyes, our hearts, and minds. Buka mata, buka hati dan pikiran kita. Kasus itu berawal dari agenda sidak yang dilakukan oleh MENWA, dan beberapa pejabat kampus sekitar jam sepuluh malam.
Salah
satu yang menjadi tempat target sidak adalah di gedung tua “bekas” rektorat
masa depan. Hasilnya adalah ditemukanya dua pasangan mahasiswa, sebut saja
namanya dalam animasi kartun yakni Popaye dan Olive, sedang asyik bercengkrama
berdua di sana. Beragam wacana dan spekulasi pun terus menggelinding bagaikan
bola salju. Kedua orang inipun diproses dalam sidang dan hasilnya cukup
mengecewakan, hanya mendapat “Surat Peringatan Satu”. Mungkin sebagian dari
kita merasa heran dan tak habis pikir dengan keputusan ini. Mungkin saja malah
terjebak hanya menyalahkan oknum-oknum dan person semata. Tapi kali ini tidak,
memang benar, ini merupakan kesalahan dari oknum tapi sebuah regulasi pun patut
untuk disalahkan. Setidaknya tak bisa dipandang sebelah mata, mengapa? Sebab
bicara kehidupan sosial, bicara hidup bersama, maka fokus pembahasan bukan
sekedar mengandalkan kesalehan personal, kesalehan individu, hanya etika, moral
dan akhlak saja. Tapi juga kesalehan sistemik atau kesalehan sosial.
Sebuah
stabilitas tidak muncul dari kesadaran individu semata tapi dari ketegasan
regulasi. Penulis sempat melontarkan sebuah tuntutan, seharusnya pelaku itu
dihukum dengan ganjaran pertama, paling tidak mendapat skorsing atau drop out.
Terserah diantara dua hukuman tersebut, dan jangan lupa harusnya turun jabatan
dari ORMAWA mutlak menjadi hukuman yang pantas untuk dirinya. Lantas, apa
ocehan yang muncul? “jika demikian, maka akan memberi potensi “mudharat” yang
lebih besar, banyak produk yang sudah kadaluarsa akan tercium kebusukanya dan
akan terbongkar”. Penulis pun hanya diam terpekur, membayangkan betapa runyam nian
kondisi saat ini. Akar Masalah Minimnya pengawasan dan penerangan memberi
peluang semakin suburnya budaya “Aleksis” di kampus IAIN Gorontalo. Sehingga
jangan hanya oknum mahasiwa semata yang disalahkan sementara regulasi tak
pernah ada kejelasan.
Pada
tahun 2016 kemarin Aliansi Mahasiswa Anti Maksiat pernah menyampaikan tuntutan
dalam aksi mereka, tapi hanya beberapa bulan berselang penjagaan terlaksana
setelah itu, lenyap di telan bumi. Setelah ditelusuri faktor “fulus” yang menjadi salah satu
penghalang, sedangkan fasilitas kebersihan seperti sapu lidi dan bak sampah
saja sangat menyedihkan keadaanya, apalagi keamanan. Lemahnya Sanksi yang
diberikan oleh pemegang kebijakan dan pihak yang memiliki otoritas kepada para
pelanggar diakibatkan oleh ketakutan mereka terhadap ancaman atas kasus-kasus
yang tak kalah hebohnya yang nantinya akan diumbar oleh para mafia. Para
Mahasiswa yang menjadi Mafia kampus adalah mereka yang mengetahui betul
seluk-beluk persoalan birokrasi, entah itu masalah pribadi atau soal kebijakan.
Jelas “kartu” itu menjadi keyword untuk melakukan pemberontakan dan menambah
keberanian mereka untuk tidak masuk kuliah, nilai IPK error, tidak mengerjakan
tugas. Toh, apa susahnya tinggal menyodorkan kartu “AS” sebagai jaminan untuk
merampok nilai dari oknum dosen yang bersangkutan.
Dalam
sistem demokrasi, kampus tidak memiliki kekuatan hukum untuk menjatuhkan sanksi
bagi pelaku maksiat di sekitar kampus, seperti “berduaan, pacaran, mabuk-mabukan,
tidak shalat, tidak menutup aurat dan lain sebagainya, selain itu sistem
demokrasi meniscayakan adanya sistem administrasi yang memberi peluang untuk
memanipulasi data. Inilah menjadi lubang jebakan bagi oknum birokrasi kampus,
sehingga sadar atau tidak, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, mereka
terjebak. Dan ini menjadi celah bagi mahasiswa untuk menjadi pemberontak. Serba
salah memang, maju kena mundur kena. Bagai makan buah si Malakama, itulah lagu
lama terdendang kembali. Solusinya perlu ada reformasi birokrasi yang bersih
sehingga tak memberi peluang bagi mahasiswa pemberontak untuk merampok nilai
dan menggerogoti kebijakan kampus. Dengan ini oknum birokrasi akan semakin
berwibawa sebab tak ada kesalahan yang bisa menjadi dalih bagi musuh-musuhnya.
Selanjutnya menerapkan sistem “kampus area Syar’i” dengan pengawasan dan sanksi
yang tegas bagi yang coba-coba melanggar aturan Islam yang diterapkan kampus.
Tidak lagi mencurigai, membuat propaganda, kriminalisasi dengan tuduhan
macam-macam atas kegiatan-kegiatan dakwah Islam dengan corak apapun selama itu
masih sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Prof. Mahfud MD mengatakan “Hatta
Malaikat saja masuk ke dalam sistem niscaya akan berubah menjadi Iblis”
mengapa, orang baik dan amanah akan dirusak oleh sistem yang tidak amanah.
Wallahu’alam bissawaab.
Komentar
Posting Komentar