Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) BIDIKMISI Dipersulit: Prestasi Atau Frustasi


Andi Rini Muchtiari, pegawai rektorat IAIN Sultan Amai Gorontalo, saat melayani mahasiswa yang meminta slip pembayaran UKT di Gedung Rektorat, Senin (12/07). Foto: Humanika. 


Seluruh nama mahasiswa dalan liputan ini disamarkan demi kepentingan dan kenyamanan bersama.

***

Sepekan setelah penginputan nilai, mahasiswa penerima beasiswa Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi (BIDIKMISI) selalu disibukkan dengan pembuatan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) terkait dengan bantuan yang sudah mereka terima. Terkadang mahasiswa yang bukan penerima BIDIKMISI, menganggap bahwa mahasiswa BIDIKMISI adalah mahasiswa yang hidupnya serba berkecukupan, dikarenakan mereka memiliki uang dari negara dan bisa membeli apa saja yang mereka inginkan. Namun, faktanya mahasiswa BIDIKMISI justru memiliki tekanan yang besar. 
 
Kecemasan Tirsa dan rekannya selalu datang ketika pengumuman pembuatan LPJ sudah diedarkan. Seketika pikiran-pikiran yang tadinya positif berubah drastis menjadi negatif. Memikirkan rintangan-rintangan yang akan mereka hadapi dalam pemasukan berkas, menyiapkan mental untuk dibentak, bahkan ditolak LPJ-nya kerap kali membuat mereka merasa terbebani.

“Itu hal yang sudah biasa,” kata Tirsa (bukan nama sebenarnya) salah satu mahasiswa penerima bidikmisi. 

Saat itu, di depan Bank Syariah Indonesia (BSI) kota Gorontalo, setelah sebelumnya meminta surat aktif rekening sebagai salah satu persyaratan pembuatan LPJ, Tirsa nampak sibuk mengatur dan memperhatikan kertas-kertas putih yang tersusun dalam sebuah map berwarna hijau. Kertas tersebut tidak lain adalah kumpulan berkas yang nantinya akan disatukan dengan LPJ yang ia buat. 

“Alhamdulillah, meski masih banyak yang perlu disiapkan, setidaknya kita sudah mendapatkan surat aktif rekening ini,” ucap Tirsa sambil tersenyum pada kedua rekannya.

“Sekarang, kita pergi ke kampus untuk meminta slip pembayaran UKT (Uang Kuliah Tunggal), ya." Cetusnya lagi. 

Setibanya di kampus, dengan raut wajah cemas, mereka pun menunggu antrean untuk meminta slip pembayaran.



“Nanti bilang ke teman-teman, ya. Slip pembayarannya difotokopi. Saya tidak akan melayani orang yang sudah pernah meminta slip kemudian meminta lagi, dengan alasan untuk persyaratan ujian dan lain-lain.” Dengan nada datar, ungkap Andi Rini Muchtiari, saat melayani mahasiswa yang meminta slip pembayaran.

Jika sekiranya pelayanan seperti ini diterapkan, tentu akan menyusahkan mahasiswa BIDIKMISI yang sudah pernah meminta slip, dan ingin memintanya lagi karena tidak sengaja slip tersebut tercecer atau hilang. Tidak hanya itu, hal seperti ini juga akan mempersulit mahasiswa tingkat akhir yang ingin meminta slip pembayaran UKT, sebagai persyaratan ujian komprehensif. 

***

Pemasukan LPJ BIDIKMISI dengan berbagai persyaratan yang rumit, sering kali menjadi momok yang begitu menakutkan. Mulai dari ancaman nilai yang tidak bisa kurang dari 3,50 sampai dengan ancaman bahwa BIDIKMISI-nya terancam digantikan.

“Saya takut pengurusan LPJ sekarang ini akan dipersulit lagi. Saya takut kena marah karena di semester ini saya tidak banyak membeli buku, meskipun di satu sisi nilai IPS (Indeks Prestasi Semester) saya naik, tapi di sisi lain pertanggungjawaban uangnya membuat saya trauma.” Sahut Nayla (bukan nama sebenarnya) rekan Tirsa yang juga menerima beasiswa BIDIKMISI.

“Jujur, saya pun demikian,” ungkap Tirsa.

Saat itu, Tirsa mengungkapkan bahwa uang yang diterima oleh mahasiswa bidikmisi adalah enam juta enam ratus ribu rupiah, dengan potongan UKT sebesar dua juta empat ratus ribu rupiah. Jadi, uang bersih yang diterima oleh tiap-tiap mahasiswa BIDIKMISI sebesar empat juta dua ratus ribu rupiah per semester.

“Di semester awal, kepengurusan LPJ tidak begitu susah karena tidak ada pembanding dengan nilai sebelumnya, tapi susahnya dipertanggungjawaban uangnya, karena harus ada bukti-bukti yang lengkap. Sedangkan, uang segitu banyaknya tidak mungkin akan habis hanya untuk membeli Alat Tulis Kuliah (ATK), beli buku, dan keperluan kampus lainnya. Di luar itu, pasti ada keperluan lainnya yang mengharuskan kita memakai uang tersebut.” Tirsa, sambil menghela nafas panjangnya.

“Saya dari keluarga yang bisa dibilang tidak serba berkecukupan, tiap kali mendapatkan beasiswa BIDIKMISI, saya selalu menyisihkan sebagian untuk orang tua saya sebagai bentuk rasa syukur saya karena sudah mendapat beasiswa itu,” sahutnya kembali.

Rumahnya yang tidak begitu jauh dari kampus, terkadang membuat Tirsa bingung. Pertanggungjawaban uang BIDIKMISI yang seharusnya bisa dijadikan alasan untuk membayar uang kos, karena ia tinggal di rumah, membuatnya berpikir dua kali dalam mencari alasan pertanggungjawaban uang yang telah ia gunakan. 

Sejak menjadi mahasiswa baru, Tirsa sudah mendapatkan bantuan beasiswa BIDIKMISI. Ia merasa, pertanggungjawaban BIDIKMISI di semester satu tidak begitu susah, karena pada saat itu, uang yang ia terima digunakan untuk membeli laptop seharga tiga juta lebih, sisanya ia gunakan untuk uang transportasi.

Pada saat semester dua, Tirsa pun merasa saat mengurus berkas LPJ BIDIKMISI juga tidak begitu susah. Ia mempertanggungjawabkan uangnya untuk membeli printer dan ponsel. Namun, pada semester dua, nilai IPS Tirsa turun empat angka dari yang awalnya 3,87 menjadi 3,83. Di luar nilai Tirsa yang turun empat angka, mendapat nilai 3,83 adalah nilai yang sudah cukup baik, bahkan sudah jauh di atas nilai minimal yang ditetapkan dalam pemerolehan beasiswa BIDIKMISI.

Namun siapa sangka, turunnya nilai Tirsa memicu tindakan Arten Mobonggi, selaku Wakil Dekan (Wadek) III FITK untuk memarahinya. Wadek III tiap-tiap fakultas memanglah bertugas memeriksa LPJ BIDIKMISI mahasiswanya sebelum diserahkan dan diverifikasi kembali oleh pihak rektorat, Tirsa yang pada saat itu menggunakan sebagian uangnya untuk membeli ponsel, ini tentu menjadi jalan bagi Wadek III untuk kemudian mempertanyakan pertanggungjawabannya.

“Kenapa nilaimu bisa turun? Kamu beli ponsel hanya untuk berkomunikasi dengan cowok?” ujar Arten,  dengan nada tinggi.

Seketika Tirsa pun hanya bisa terdiam. Mahasiswa-mahasiswa lain yang juga berada di ruangan itu seketika diam dan memandang ke arah Tirsa dengan pandangan yang seakan merasa kasihan terhadap Tirsa.

“Nanti saya akan sampaikan pada Ketua Jurusanmu (Kajur), kalau nilaimu turun begini lebih bagusnya digantikan saja dengan yang lain,” tegas Arten.

Penegasan Arten tersebut, sontak membuat mahasiswa lainnya turut merasakan takut karena tidak sedikit yang mengalami penurunan nilai seperti Tirsa. Bahkan, ada salah satu mahasiswa yang nilainya turun drastis yang membuat LPJ-nya dilempar di depan banyaknya mahasiswa lain.

***

Setelah selesai meminta slip pembayaran UKT di gedung rektorat kampus 1, saya pun masih menemani Tirsa untuk pergi ke kampus 2 dan meminta transkip nilai di operator jurusannya. Tak berhenti di situ, ia melanjutkan cerita terkait dengan LPJ-nya yang juga pernah diminta untuk diperbaiki kembali. 

“Pada saat semester lima kemarin, saya juga sempat disuruh memperbaiki LPJ saya kembali, hanya karena saya memakai bukti kuitansi dalam pembelian kertas HVS sesuai arahan pihak fakultas. Setelah saya memakai kuitansi, ternyata pihak rektorat meminta untuk memakai nota.” Ungkap Tirsa yang sedang duduk di ruang jurusan.

Tirsa menjelaskan bahwa dalam proses pengurusan LPJ, pihak fakultas dan juga pihak rektorat sangat plinplan dalam memeriksa dan memberikan arahan terhadap pembuatan LPJ yang mereka buat. Pasalnya, informasi yang mereka berikan tidak dalam satu arah, akibatnya banyak mahasiswa penerima beasiswa BIDIKMISI terutama Fakultas Tarbiyah, merasa kebingungan saat menyiapkan berkas-berkasnya. 

“Setelah saya memakai nota untuk bukti pembelian kertas HVS dan sudah memakai cap lunas, tiba-tiba pihak rektorat kembali buka suara dan mengatakan bahwasanya harus menggunakan cap asli tokonya, kalau hanya memakai cap lunas bisa saja itu hanya dibuat-buat,” kata Tirsa.

“Padahal kan tidak semua toko memiliki cap dengan nama toko mereka. Kalau memang kami beli di toko yang hanya memiliki cap lunas, dan kemudian tidak diterima oleh pihak rektorat, lantas kami harus bagaimana? Kami selalu ditanya mengenai pertanggungjawaban uang yang kami pakai, tapi pada saat kami menuliskannya jujur, mereka tidak percaya. Jadi secara tidak langsung, bisa dikatakan bahwa pihak kampus juga mengajarkan kami tidak jujur dalam penyusunan LPJ ini.” Sambung Tirsa, dengan nada tinggi. 

“Ya, betul sekali. Saya setuju dengan apa yang dikatakan Tirsa, pihak kampus selalu mengoreksi dan menyuruh kami mengganti pertanggungjawaban laporan keuangan yang kami pakai sesuai dengan apa yang ada di dalam pikiran mereka. Padahal kami sudah berusaha membuatnya dengan jujur.” Sahut Candra (bukan nama sebenarnya) yang juga menerima beasiswa BIDIKMISI.

Candra salah satu rekan dari Tirsa pun turut membenarkan. Ia menjelaskan bahwa, pihak kampus tidak konsisten dalam menentukan persyaratan yang harus mereka penuhi dalam pemasukan LPJ. Hal ini dibuktikan dengan adanya salah satu mahasiswa bidikmisi yang sudah mengumpulkan LPJ-nya disertai dengan materai enam ribu, pada hari yang sama pula, salah satu pihak kampus yang  juga tergabung dalam grup whatsapp BIDIKMISI, mengatakan bahwa pemasukan LPJ harus disertai dengan materai sepuluh ribu, bukan materai enam ribu. Alasannya, karena mengikuti aturan pemerintah.

***
Kesulitan ketika mengurus berkas BIDIKMISI juga dirasakan oleh Tiara selaku penerima beasiswa BIDIKMISI pengganti. Ia menjelaskan bahwa, pada saat semester lima kemarin, ia bolak-balik mengurus LPJ karena pertanggungjawaban uang BIDIKMISI yang menurut pihak rektorat kurang tepat.  

Pada saat itu, Tiara (bukan nama sebenarnya) mengaku mencantumkan biaya uang makan sebesar satu juta delapan ratus ribu rupiah, karena ia membantu kakaknya dalam membiayai kehidupannya sehari-hari. Ayahnya sudah meninggal satu tahun yang lalu, Ibu dari Tiara pun sudah tidak bisa bekerja karena sering sakit-sakitan. Mau tidak mau, Tiara tetap harus menyisihkan uang beasiswanya untuk membantu menopang kebutuhan keluarganya.

“Ganti saja dia jadi penerima BIDIKMISI, dia sudah mampu membiayai keluarganya yang di rumah, uang makan saja dia yang tanggung semua,” Bentak salah satu pihak rektorat yang pada saat itu memeriksa LPJ-nya.

Air mata tak dapat dibendung, Tiara hanya bisa diam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Berjalan perlahan ke luar dari ruangan rektorat sambil menangis tersedu-sedu.

***

Pada saat diwawancarai, Arten Mobonggi, selaku Wadek III FITK menanggapi keluhan-keluhan mahasiswanya, terkait dengan pengurusan LPJ BIDIKMISI yang dianggap menyulitkan mahasiswa. 

Wawancara Arten Mobonggi, Wakil Dekan III (Wadek III)  Fakutas Ilmu Tarbiyah & Keguruan, Jumat (16/07). Foto: Humanika.

Wadek III FITK mengatakan bahwa, mahasiswa BIDIKMISI harus mengetahui apa itu Biaya Pendidikan Miskin Berprestasi. Beasiswa itu ditujukan khusus untuk mahasiswa kurang mampu dan memiliki prestasi baik, oleh karena itu sangat wajar apabila mahasiswa BIDIKMISI banyak dituntut untuk menaikan prestasinya. 

“Sekarang banyak mahasiswa mengeluh, mengeluhnya itu dalam hal apa? Kalau memang banyak dituntut ya wajar. Orang yang tidak mendapatkan beasiswa saja dituntut untuk meningkatkan prestasi, apalagi mahasiswa yang memperoleh fasilitas negara. Pilihannya hanya ada dua, kalau tidak mau meningkatkan prestasi berarti secara sadar menyatakan mundur dan akan digantikan oleh yang lain,” ungkap Arten Mobonggi (Wadek III FITK).

Arten menambahkan bahwa, selaku Wadek III dan dalam hal ini sebagai pemangku kepentingan yang mewakili pemerintah pusat, Ia berhak mengevaluasi mahasiswa penerima BIDIKMISI. Sehingga, tidak jarang ada mahasiswa BIDIKMISI yang digantikan beasiswanya karena memiliki nilai C, itu berarti beasiswa yang diberikan negara tidak efektif karena tidak mampu meningkatkan prestasi mahasiswa tersebut. Wadek III FITK pun menambahkan, pertanggungjawaban uang BIDIKMISI oleh mahasiswa terkesan tidak masuk akal.

“Beasiswa itu untuk kepentingan pendidikan Anda, silakan gunakan untuk membeli buku, misalnya; printer, laptop, ATK, HP. Tapi yang terjadi selama ini, di LPJ ada yang membeli make up, ada yang uangnya dikasih ke orang tua untuk membeli motor, beli kaca mata, dan lain-lain yang tidak bersentuhan langsung dengan peningkatan prestasi. Ini kan salah penggunaan, makannya saya sering marah ke mahasiswa. Uang itu diarahkan untuk menunjang prestasi, paling tidak mengikuti kegiatan-kegiatan seminar, workshop, tapi yang terjadi sekarang di LPJ tidak ada yang mengisi kolom prestasi, yang ada hanya frustasi,” cetus Arten.

Ia menjelaskan, terkait dengan mahasiswa yang menggunakan uangnya untuk membeli motor, membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga, Ia menyarankan untuk melaporkan hal tersebut ke dinas sosial atau pada pemerintah setempat, karena sasaran dari beasiswa ini adalah untuk menunjang prestasi, bukan malah ke ranah sosial keluarga.

“Saya sering khawatir pada mahasiswa yang menggunakan uang negara sembarangan. Makannya maaf, di Tarbiyah itu pertanggungjawaban LPJ-nya lebih bagus, karena semua yang dibeli harus disertakan buktinya, dan dicantumkan fotonya. Sedang di beberapa fakultas berbeda, yang penting sudah cukup ada nota atau kuitansi. Nah, kalau seperti ini kan pada saat ada pemeriksaan, kita yang akan mendapat apresiasi dari institut sebagai laporan yang paling bersih,” papar Arten Mobonggi.

“Sebenarnya semua ini untuk menjaga kalian, jadi itu bukan berarti kita menyulitkan. Hanya saja, karena itu uang negara, jadi sepeser pun harus tetap dipertanggungjawabkan. Bayangkan, jika yang memeriksa bukan lagi dari inspektorat, melainkan dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Pasti yang akan ditanya lebih dulu adalah Dekan dan Wadek III-nya. Nah, kalau sudah seperti ini, apakah kalian sanggup jika disuruh mengembalikan uang negara yang sudah kalian terima? Makannya jangan cengeng, kalau dikasih uang negara itu seharusya bersyukur,” Tambahnya lagi.

Tak hanya itu, AM juga mengatakan bahwa salah satu hal yang sangat Ia harapkan selaku Wadek III ialah melihat mahasiswa-mahasiswa penerima beasiswa BIDIKMISI bisa meningkatkan prestasi mereka. Mahasiswa BIDIKMISI harus berbeda dengan yang lain, harus bisa menjadi pelopor dan menjadi contoh bagi mahasiswa lain, serta bisa menarik teman-teman lain agar bisa sama-sama berlomba dalam meningkatkan prestasi.

***

“Terkait dengan keluhan-keluhan mahasiswa BIDIKMISI, seharusnya ini menjadi bahan evaluasi bagi para birokrasi: yang mengurusi beasiswa itu sendiri.” Ungkap Amar (bukan nama sebenarnya) yang juga merupakan mahasiswa FITK penerima beasiswa BIDIKMISI.

Amar menjelaskan bahwa tidak ada koordinasi antara Wadek III di tiap-tiap fakultas dengan pihak Institut. Akibatnya, persyaratan LPJ BIDIKMISI tiap fakultas berbeda-beda. Di FITK, misalnya. Pada saat mengurus berkas di bagian akademiknya, pengecekan berkas sangatlah detail. Selain itu, Ia mengungkapkan bahwa seharusya pembuatan surat pengantar tidak perlu satu mahasiswa satu surat. Jika masih berada dalam satu fakultas yang sama, seharusya cukuplah satu surat mewakili semua.

“Saya pribadi beranggapan bahwa, mahasiswa BIDIKMISI itu terkadang sampai malu dan takut dikekang. Bahkan, mahasiswa BIDIKMISI terkesan diancam apabila mengeluarkan suara yang berlebihan kepada birokrasi, ya berarti Anda terancam dikeluarkan dari BIDIKMISI. Sehingga kami hanya bisa menahan derita dan tetap menjalankan regulasi yang ada,” papar Amar.

“Saya pun pernah mengalami kesulitan, LPJ saya ditahan karena saya tidak memberikan bukti buku, dan ini yang sangat-sangat menyebalkan. Buku saya pada waktu itu ada di kota Gorntalo, kemudian saya ke Limboto untuk memperlihatkan LPJ yang juga sudah ada nota buku dan bukti foto bukunya. Tapi LPJ saya tetap ditahan dan saya pun diminta untuk memperlihatkan bukti bukunya, padahal sudah ada bukti (nota), bahkan sudah ditandatangani, loh,” ungkapnya kembali.

Amar pun memberikan tanggapan terkait ketatnya pengurusan LPJ BIDIKMISI di FITK. Ia mengungkapkan bahwa hal itu tidak logis ketika dikatakan bahwa, alasannya adalah untuk membuat mahasiswa FITK penerima beasiswa tersebut tidak bermasalah ketika ada pemeriksaan dari inspektorat. 

Selama ini ia belum pernah mendengar ada mahasiswa dari fakultas lain mengalami masalah hanya karena laporan pertanggungjawabannya bermasalah, karena tidak melampirkan beberapa bukti. Ia menambahkan bahwa, di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Fakultas Syariah,  atau pun dari Fakultas Ushuluddin, dalam pengurusan LPJ sampai hari ini tidak ada masalah atau kendala yang mereka alami. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan pengurusan LPJ BIDIKMISI di fakultasnya.

“Saya berharap, pengurusan LPJ itu tidak diribetkan lagi. Kalau mahasiswa sudah melampirkan bukti nota, tidak perlu dipertanyakan lagi keasliannya, capnya dari mana, dan lain sebagainya. Sudah saatnya birokrasi dan mahasiswa bisa bekerja sama dengan baik dan saling percaya.” Tutup Amar.

Reporter: Lisa & Sahrul
Editor: Cakra





Komentar