Harta, Tahta dan Ketua DEMA.

Foto: Alin Pangalima, Mahasiswa Jurusan Pemikiran Politik Islam IAIN Gorontalo. 





Opini

Oleh: Alin Pangalima

Fenomena Kampusku akhir-akhir ini agak menggelitik iman. Apalagi kalau bukan soal pemilihan Dewan  Eksekutif Mahasiswa Institut atau DEMA-I IAIN Sultan Amai Gorontalo periode 2021 yang sudah tiga kali dilakukan.  Pasalnya, pesta demokrasi ini banyak diwarnai dengan berbagai polemik juga perang dingin melalui media. 

Hal ini tentunya juga turut ikut direspon oleh banyak mahasiswa yang tadinya kerjaannya hanya bangun dari tempat tidur, lalu tidur lagi di tempat duduk, menggulir layar handphone ke atas-ke bawah dan sebagainya. Mereka seakan terpanggil mengawasi polemik semacam ini. Kita dipaksa mencari kebenaran dari situasi bodoh semacam ini. 

Mulai dari soal Tim Sukses kedua kubu yang tak mau kalah dan habis-habisan membela figur yang dianggapnya benar, hingga para calon itu sendiri yang mencari-cari definisi kemenangannya masing-masing. Ah, ada-ada saja.

Ini tentunya membuat bingung masyarakat kampus. Yang satunya tidak mau kalah, yang satunya lagi ingin menjadi pemenang. Sama aja, tapi sulit juga dibayangkan. 

Memang benar kata orang, demi jabatan apapun akan dilakukan. Kadang aku berpikir, bahwa politik kampus adalah cikal-bakal dari politik pemerintahan. Dan itu benar adanya. Sebagai mahasiswa dari jurusan Politik, sedikit demi sedikit aku mulai jijik dengan keadaan politik hari ini. Yang mana semuanya membuat akal sehat menjadi sakit.

Sebagai Kampus Peradaban Islam, harusnya politik lebih di Islamkan, biar tak banyak mengundang hal-hal yang tak diinginkan; perpecahan antar Fakultas dan jurusan misalnya. Itu sangat buruk sekali.

Atau mungkin, faktor pemilihannya yang tidak membuat semua menjadi puas. Karena sistem demokrasi di IAIN, hanya diwakili oleh 21 anggota senat mahasiswa delegasi. Akibatnya suara mahasiswa tidak dapat terwakili seperti di kampus-kampus lain, yang semua mahasiswanya mempunyai hak suara untuk memilih. Ini juga lucu, sih. Bagaimana mungkin IAIN dengan ribuan jumlah mahasiswanya, tapi hanya diwakili oleh 21 orang saja, itu lucu kan? Haha. 

Kembalikan saja sistem demokrasi seperti semula, biar mahasiswa bisa menilai mana figur yang baik dan bisa memimpin. Semua punya hak suara, jadi yang suka nyogok bisa kewalahan. Kupikir Ini bisa mengurangi perpecahan yang terjadi antar mahasiswa. Ah gitu saja kok repot. Hahahaha.

Komentar

Posting Komentar