Ekstra Time Pemilma DEMA-Institut yang Terlanjur Tipu-Tipu

Ilustrasi






Penulis: Cakra Wahyudi

Penting sebagai bekal teman-teman mahasiswa semua untuk belajar Teknik Lobby dan Negosiasi sebagai dasar berpolitik. Kenapa demikian? Sebab dengan hal itu, teman bisa menahan sakit akibat kekalahan dan kenyataan karena kekurangan jumlah massa. 

Di sisi lain pula, kita telah menghabiskan banyak waktu untuk menyaksikan laga yang tak kunjung usai ini dan pemilma yang di ulang-ulang terus. Bersamaan dengan itu, hadir pula sederet kasus yang mirip-mirip konstalasi politik sebelumnya. Mulai dari kasus Penyelenggara yang seolah di culik, tidak solid, pengkhianatan di balik kertas suara, hingga pemukulan terhadap salah satu pihak penyelenggara oleh oknum tak di kenal di lingkungan kampus. Pemilma bak sengketa Pilkada 2019 lalu. 

*****
Pagi ini, saya dapat pesan lewat via watsap. Katanya Pemilihan Mahasiswa (Pemilma) akan diadakan ulang. Dan ini kali keempat Pemilma di IAIN diadakan untuk periode setahun kedepan. Kita terus dirujuk untuk menyaksikan siapa sebenarnya sosok yang layak duduk di kursi Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Institut (DEMA-I), setelah dipertontonkan keputusan penyelenggara yang 'mudah' berubah-ubah. Padahal itu tugas yang cukup administratif dan konstitusional. Dalam sehari mudah bagi penyelenggara membuat dua keputusan resmi, secara tertulis, tertanda dan ter-dokumentasi hasil ketua Dema Institut terpilih. 

Dalam sebuah grub watsap, saya mendapati teman-teman yang 'sok dewasa' dan 'sok politisi' juga membicarakan hal ini. Bahkan sebagian adalah mahasiswa semester awal. "Dewasalah, begitulah politik. Wajar berdinamika. Mari belajar!" Kurang lebih, begitu bunyinya. Padahal, bisa jadi, hanya ikut-ikut perkataan senior. 

Kalimat-kalimat serupa juga sering tersirat di diskusi-diskusi kecil kita bersama rekan-rekan mahasiswa, di organisasi, bahkan tukang pangsit di pelataran kampus juga bilang begitu, mungkin. 

Intinya, semua orang di kampus sudah tau lah, siapa yang ingin TERPESONA. Siapa yang kebelet mau jadi ketua Dema Institut. 

Sebuah Preferensi

Hingga saat ini, percaturan pemilma di IAIN kerap di adakan ulang dan belum menemukan titik terang. Alih-alih tidak demokrasi, pihak penyelenggara justru ambifalen dan mencari-cari definisi demokrasinya sendiri. Minim pengetahuan dalam menentukan sikap terhadap perselisihan dan konflik, pihak penyelenggara kini terindikasi ikut campur dan memihak kepada peserta calon pemilma yang tersisa di arena pemilihan. Kecurigaan itu muncul sebab mudah terlihat. Dari lima penyelenggara yang ada, masing-masing memiliki pedoman pemilihannya sendiri. Tidak sepemikiran dan kolektif. 

Hasil runtutan peristiwa yang terjadi di tempat pemilihan membuktikan, penyelenggara cenderung menambah-nambah waktu pelaksanaan Pemilma hingga beberapa kali mengulang proses Pemilma sampai saat ini. Hal tersebut bukan tak beralasan, tentu beberapa di antaranya disebakan karena saling mempertahankan kepentingannya dengan salah seorang calon. Keterlibatan antar keduanya (baca: penyelenggara dan salah satu calon ketua Dema-I) mengakibatkan pihak penyelenggara terkesan preferensi, mengutamakan kemenangannya hingga mengabaikan perhatian publik dan teman-teman mahasiswa atas kerja-kerja pemilma yang kurang demokrasi lagi. 

Pada akhirnya, mudah bagi penulis untuk mengklasifikasikan macam-macam penyelenggara. Pertama, ada penyelenggara yang kurang mengerti mekanisme pemilihan; kedua, ada penyelenggara yang mengerti mekanisme pemilihan, namun diam-diam diusung oleh pihak calon, akibatnya dia bertanggung jawab pada sebuah kemenangan secara penuh sesuai mekanisme pengusung; dan ketiga, penyelenggara yang mengerti mekanisme pemilihan, namun kalah jauh keterampilannya menentukan sikap dibanding kekuatan politik pihak-pihak calon. Akibatnya mudah dipersekusi. Dibuktikan dengan adanya salah seorang penyelenggara yang telah dipukuli semalam oleh oknum tak dikenal. 

Sebuah Simulasi Politik

Perlu diakui, IAIN adalah satu di antara beberapa kampus di Gorontalo dengan skema politik kampusnya yang kerap memanas dan melibatkan banyak sekali lapisan kelompok masyarakat di setiap percaturannya. Mulai dari keterlibatan organisasi intra, ekstra, alumni hingga birokrat sekalipun. Bahkan beberapa pernah besar dengan kekuatan premanismenya. 

Tidak jauh berbeda dengan Pemilma kita di periode ini. Dan bukan sebuah kesalahan sebenarnya, sebab begitulah politik, indikator yang tidak kalah penting di dalamnya adalah sebuah DUKUNGAN dari berbagai kalangan. Dukungan berupa petuah, suara massa, hingga mobilisasi. 

Namun, bagaimana jadinya bila dukungan itu ternyata hanya pura-pura? Bagaimana bila ternyata kita di khianati? Apakah kita harus sabar dan intropeksi? Tentu tidak. Jawabannya adalah, Pemilma ulang! 

Sebuah contoh demokrasi kampus yang kurang baik ini telah lahir di tengah-tengah kita dan menjadi habit. Kita diperlihatkan sebuah rekayasa politik yang pada akhirnya tidak cocok dengan kondisi pemilihan di lapangan dan mengakibatkan kegaduhan. 

Pemilma yang kali kedua digelar beberapa minggu lalu, adalah yang paling di ingat oleh teman-teman mahasiswa yang memantau penuh jalannya pemilihan hingga akhir. Dari kedua calon yang berlaga, salah seorang peserta calon beserta pihak pengusungnya kalah dalam sebuah pertarungan dan keras hati menerima kekalahan. Hal biasa memang. Tapi tidak dengan pihak calon tersebut, hingga meminta pihak penyelenggara meninjau kembali hasil akhir penentuan ketua Dema Institut terpilih. 

Pasalnya, bila saya simulasikan, begini mungkin rekayasa politik masing-masing calon. Diawali dengan kedua pihak yang sudah merencanakan rekayasa pemilihan nanti hingga menentukan jumlah suara yang masing-masing pihak dapat peroleh dan kantongi. 

Sekedar informasi, pemilihan mahasiswa di IAIN tidak dipilih langsung oleh setiap mahasiswa yang ada. Tapi melalui perwakilan ketua dan anggota Senat Mahasiswa Institut (Sema-I) di kampus. Pemilihan senat dan penetapannya sendiri sebenarnya telah di lakukan sebelum pemilihan Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) akan digelar. Pemilihan Senat telah usai dan telah ditetapkan dengan Keputusan Rektor Nomor 248 Tentang Susunan Pengurus Sema Institut Masa Bhakti 2021. Yang menghasilkan 21 nama mahasiswa sebagai pengurus serta yang bertanggung jawab penuh pada proses suara di pemilihan ketua Dema Institut nanti. 

Lanjut soal simulasi tadi. Dari 21 suara yang ada, menurut pantauan penulis, masing-masing sebenarnya sudah mengakui mampu memperoleh: Pihak A, 11 suara, dan pihak B, 10 suara, dalam rekayasa politik mereka. Lagi-lagi ini hanya sebatas perkiraan penulis. Namun, dirasa akan adanya sebuah kekalahan, pihak B melayangkan usul pada penyelenggara untuk menghapus satu nama dari jumlah suara yang berhak memilih, tidak lain adalah pihak senat itu sendiri. Dengan dalih, satu orang anggota senat yang juga merupakan ketua senat saat ini, tidak berhak memiliki hak suara sebagai pemilih meskipun ketua Senat sekalipun. Dengan dalih bahwa ia adalah ketua Dema Institut periode sebelumnya dan belum melakukan serah terima jabatan dengan Dema terpilih di periode ini. Dengan kata lain, katanya, itu adalah sebuah dualisme jabatan. Akibatnya hal itu menghapus satu dukungan suara untuk pihak si A. 

Sekedar catatan pula, ketua Dema periode sebelumnya telah ikut serta dalam pencalonan pemilihan ketua Senat akhir 2020 kemarin. Dalam pertarungan tersebut, ia keluar sebagai pemenang dan telah di sah-kan sebagai ketua Senat Institut periode ini. Dan posisinya sebagai ketua Dema Institut telah digantikan oleh sekretarisnya melalui surat tugas yang ditanda tangani oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan. Namun, hal tersebut juga tetap mengundang banyak kontroversi. Salah satunya seperti yang disebutkan tadi, beberapa menilai itu tetap sebuah dualisme jabatan. Sebagian lagi mengaku puas dengan hasil yang ada. 

Ok, lanjut lagi. Akhirnya, tersisa 20 suara pemilih dan lima orang penyelenggara di hari pemilihan kedua Dewan Eksekutif Mahasiswa. Bila diasumsikan, masing-masing calon: Pihak A, 10 suara, dan Pihak B, 10 suara pula. Simulasi ini dipikirkan penulis karena merasa concern dengan deratan peristiwa sebelumnya dan atas informasi beberapa rekan. Tapi tetap saja, itu hanya sebatas simulasi penulis atas jumlah dan rekayasa politik kedua calon yang muncul dipermukaan. 

Sebuah Kekalahan

Pemilihan kedua pun berlangsung hingga proses voting dan perhitungan suara. Setiap hasil suara dibacakan oleh penyelenggara dan disaksikan langsung oleh berbagai pihak. Mereka menyaksikan setiap jumlah suara yang diperoleh masing-masing calon. 

Hasil pun keluar. Meleset ternyata. Hampir mirip simulasi yang saya penulis perkirakan dan informasi yang dikantongi, pihak A ternyata keluar sebagai pemenang dengan jumlah suara yang diperoleh 11 suara. Sedangkan pihak B hanya 9 suara. Cukup tipis, namun mutlak. 

Akhirnya, beberapa saat setelah penetapan ketua Dema yang baru, situasi mulai gaduh, dikacaukan. Penyebabnya adalah seperti yang saya jelaskan di atas. Kita diperlihatkan sebuah rekayasa politik yang pada akhirnya tidak cocok dengan kondisi pemilihan di lapangan. Pihak B menduga, menyampaikan kepada penyelenggara, publik, lewat rilisan media bahkan, sebelum pemilihan berlangsung ia meyakini telah mengantongi 10 suara yang siap memilihnya. Padahal, di saat perhitungan, ia hanya memperoleh 9 di antara 20 suara yang ada. Sedangkan menurut pihak A, bahwa hal itu bisa saja terjadi. Orang mana tau tindakan seorang pemilih bila sudah berada di bilik suara? Bisa saja ada yang membelot. Ada yang mengubah dukungannya. Hanya ia dan Tuhan yang tau. 

Sedangkan hal yang di luar dugaan penulis adalah, bagaimana bisa ia mengatakan kepada khalayak, bahwa ia telah mengetahui jumlah suara yang akan keluar di pemilihan nanti? Kalau sebatas pengetahuan tim, bisa saja. Tapi justru hal ini disampaikan secara sadar pada publik. Secara tidak langsung, ia melalaikan nilai-nilai demokrasi kampus itu sendiri. 

Tindakan lain pun mulai dilakukan, mulai ada yg berdalih soal kesalahan di surat suara, hingga pihak penyelenggara melakukan peninjauan kembali secara sepihak tidak di ikuti oleh 3 peserta penyelenggara lainnya. Sebab mereka menilai tidak ada alasan untuk melakukan peninjauan kembali, melihat juga sebagian anggota senat telah beranjak. Semuanya hanya rekayasa dan spekulasi soal surat suara yg dirusak. Hanya karena mengira Pihak B mengantongi 10 suara, sebagian penyelenggara ikut mengiyakan dalih adanya kecurangan di surat suara. Pada akhirnya, sebagian penyelenggara dengan formasi: 2 presidium sidang, 1 orang calon, dan 10 orang senat, melangsungkan pemilihannya sendiri bersama pihak B dan memenangkannya. Keputusan tersebut sekaligus menghasilkan dua ketua Dema Institut menurut versinya masing-masing. 

Sementara itu, dalam menunggu proses birokrat dalam memilah dan memilih dua berita acara yang ada untuk disahkan sebagai ketua Dema-I, pihak penyelenggara, sebagian telah melangsungkan ulang pemilihan dini hari, Rabu, 20 Januari, untuk kali keempat dengan formasi yang sama. 2 Penyelenggara dari 5 orang yang dipilih; Satu orang calon; dan 10 orang Senat perwakilan dari 21 senat yang ada menurut SK Rektor tentang Penetepan Senat Mahasiswa. Entah apa alasannya. Membosankan. 

Untuk siapa segala macam kesiapan Pemilma ini? Berapa lama tambahan waktu untuk melangsungkan Pemilma? Apa harus di ulang-ulang biar Dayana senang? 

Pentingnya Belajar Teknik Lobby dan Negosiasi

Seperti yang penulis bilang di awal. Sebagai saran, ada baiknya calon-calon politisi ini belajar teknik tersebut biar terbebas dari perpecahan, pemaksaan dan perebutan, yang mengabaikan kepentingan bersama untuk memajukan IAIN Sultan Amai Gorontalo dari segala aspek. Terlebih soal SDM. 

Padahal, mengalah memiliki esensi kebesaran jiwa dan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk juga mau mengakomodasi kepentingan kita sehingga selanjutnya bersama bisa menuju sebuah kolaborasi. 

Teknik tersebut sejatinya merupakan cara yang paling efektif untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik atau perbedaan kepentingan. Dengan kemampuan negosiasi yang ada, dan komunikasi yang efektif, hal ini bisa meminimalisir ancaman kedepan terjadinya sebuah konflik serupa, tanpa pula melibatkan individu-individu lainnya. 

Di samping itu, pun penulis sebenarnya mengharapkan pula gaya perpolitikan yang terkesan menge (Baca: ingin lebih diperhatikan dan sulit mengalah) ini tidak terlalu merambat pada individu-individu lainnya. Akibatnya gaya perpolitikan di kampus terkesan stagnan. Adapun yang berkembang, hanya sebatas gaya pidato politik. Selebihnya, kejahatan-kejahatan lainnya tetap membeku pada kerja-kerja politik kampus yang ada.

Komentar

  1. Keren,Kak. Semoga tetap setia dalam menggaungkan kebenaran. Panjang umur orang-orang baik, terkhusus Nicholas Saputra. Selamat pagi sayang, sudah sarapan nasi kuning?

    BalasHapus
  2. Penting Untuk belajar Teknik Lobi dan Negosiasi,
    Supaya Nd Kalah��

    BalasHapus

Posting Komentar