Benarkah Kampus Menjelma Negara?


Foto: Said Muhammad, mahasiswa semester 7 jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. 
 


Penulis: Said Muhammad

Beberapa hari terakhir beranda story WhatsApp saya dihiasi dengan isu-isu tentang sengeketa (?) Pemilihan Umum Mahasiswa, di IAIN Gorontalo. Hampir semua daftar kontak yang terdiri atas teman-teman mahasiswa dari IAIN, membuang interpretasinya terkait pemilihan tersebut—yang masing-masing menuliskannya dengan emosi yang meletup-letup. 

Dari beberapa story WhatsApp yang tidak sengaja saya lihat itu, ada beberapa yang membikin saya tercenung dan ingin mengomentari. Namun karena lagi kebelet pipis, saya mengurungkan niat itu, dan setelahnya memilih untuk membalas chatingan-chatingan mantan pacar yang berderet dibarisan pesan masuk. Huhuy...

Jadi begini, teman-teman. Setelah selesai membalas satu persatu pesan-pesan mantan, saya kembali mencoba merenungi tentang polemik yang terjadi dalam kehidupan kemahasiswaan yang hangat dibicarakan publik. Dan akhirnya, muncullah beberapa pertanyaan di kepala saya: benarkah kampus adalah miniatur negara yang punya super struktur yang menjelma sistem tentang konsep trias politica? Dan jika benar demikian, akankah kontestasi demokrasi mahasiswa di IAIN berhasil mewujudkannya? Mari kita uji satu persatu.

Kalau dilihat-lihat, kultur kemahasiswaan—khususnya di IAIN, masih sangat jauh jika dilabeli sebagai ‘miniatur negara’. Kenapa demikian? Sebab jika sebuah kampus  benar adalah miniatur negara, kampus hamba tercinta tidak akan se bodoh itu mengejawantahkannya. 

Jadi, logika sederhananya begini: Negara punya pedoman ideologisnya tentang bagaimana cara berkehidupan dan berbangsa. Punya pemimpin negara sampai pada tingkatan daerah (eksekutif dan legislatif), juga ada lembaga yudikatif yang masing-masing adalah jelmaan dari  konsep trias politica, serta ada lembaga-lembaga lain sebagai instrumen. Dan itu ada dalam konstitusi berupa poin peraturan undang-undang atau pada nilai luhur Pancasila. Jadi hirarkinya jelas. Ada Garis Besar Haluan Negara (GBHN), ada majelis ini-itu, ada sengketa, ada gugatan, ada korupsi, ada macam-macam lah, pokoknya. Hihihi

Nah, kampus, hamba? Pemimpinnya ada juga: eksekutif dan legislatif dari tingkat universitas/institut sampai ke fakultas-fakultas. Hanya saja, tidak ada satu lembaga yudikatif didalamnya, jadi serasa hampa (wkwkwkkw). Ketiadaan dari lembaga yudikatif inilah yang menjadi tidak seimbangnya atmosfir kehidupan kampus dan kemahasiswaan. Sebab jika sewaktu-waktu ada sengketa, polemik dan semacamnya, ada satu lembaga yang punya otoritas untuk memutuskan perkara tersebut. 

Namun sayangnya, meski telah berdiri dua lembaga (eksekutif dan legislatif) mahasiswa tersebut, belum menunjukan bagaimana sejatinya kehidupan berbangsa-bernegara di tengah masyarakat kampus. Sebab, belum ada satu pedoman yang jelas. Senat Mahasiswa dari tahun ke tahun tidak mampu melahirkan satu produk peraturan sebagai rujukan bersama. Dan itu terlihat jelas pada perhelatan tahunan mahasiswa—pemilihan Ketua Eksekutif tingkat Universitas/Institut—Dewan Eksekutif Mahasiswa. 

Pada prosesnya, kita disuguhi dengan keputusan dari Panitia Pemilihan Umum Mahasiswa (PPUM) yang berubah-ubah tentang pemenang dari kontestasi demokrasi tahunan, di IAIN. Dan jika ditanya apakah hal itu salah atau tidak, jawabannya jelas tidak! Sebab, tidak ada satu peraturan yang jelas yang termaktub dalam satu kitab rujukannya. Olehnya, itu menjadi sah-sah saja dan menjadi satu taktik dan celah bagi lawan politiknya.

Coba saja, ada satu lembaga yudikatif mahasiswa, pasti sengketanya tidak akan berlarut-larut, dan barulah kampus hamba tercinta ini bisa disebut sebagai ‘miniatur negara’. Satu lagi: jika sengketanya selesai, bisa jadi saya telah dilantik menjadi salah satu jajaran kabinet di struktur kepengurusan yang baru. Bhahahahahhahah

Komentar

Posting Komentar