Oleh: Cakra Wahyudi
Beberapa
waktu lalu, saya dan rekan-rekan lainnya menghadiri sebuah acara Talk
Show, tentang “Menyongsong IAIN menuju UIN”. Ekspetasi kami tiba-tiba merosot
begitu saja, setelah mengamati acara tersebut yang terkesan asal-asalan.
Bagaimana tidak? Sehari sebelumnya, setelah ditanyakan, pihak panitia
mengonfirmasikan bahwa acara tersebut akan dihadiri oleh berbagai petinggi berokrasi
kampus yang juga merupakan penanggungjawab atas wacana peralihan tersebut. Dan hal
itu tentu tidak terjadi. Hanya ada satu orang yang datang dan bicara sebagai
perwakilan dari birokrasi. Ditambah dengan jumlah peserta yang sangat sedikit
dari yang seharusnya diharapkan. Bahkan pihak penyelenggara pun mengakui,
peserta yang datang tidak benar-benar tertarik, hanya saja sudah terlanjur
dibujuk. Meskipun ada yang datang dengan cukup tenang tanpa dipaksa. Dan
akhirnya, di tengah diskusi berlangsung, mereka memilih berlangkah kecil ke
arah pintu keluar, sambil mengunyah dua potong kue yang diberikan oleh panitia.
Kurang percaya diri apa coba mahasiswa kita?
Ketika
hendak memberikan kesempatan kepada peserta dialog untuk bertanya, berbagai
macam tanggapan pun disampaikan. Satu pertanyaan muncul, dan menurut saya itu
cukup serius.
“Apa
kira-kira keunggulan dari IAIN?” tanya salah seorang, yang kalau dilihat dari
matanya, tatapan beserta pertanyaan itu ia harapkan tertuju pada beberapa orang
yang tak kunjung datang – birokrasi kampus yang terkesan tidak menghargai acara
tersebut tentunya.
Jawabannya sangat
politis menurut saya. Hanya mengutik pada persoalan “memaklumi” segala bentuk kekurangan yang ada. Dan
kemudian ditegaskan dengan sebuah analogi “Ibarat sebuah kapal, kita adalah
penumpangnya. Dosen dan mahasiswa wajib mengambil posisi masing-masing dan menambal
lubang-lubang yang bocor”. Bahkan
secara sadar ia mengungkapkan bahwa, “kita tidak perlu seterusnya bergantung pada birokrasi dalam
mengembangkan potensi diri kita”.
Tentu hal ini membuat saya sedikit geram. Bagaimana tidak? Sebagai mahasiswa
jurusan komunikasi penyiaran Islam, saya tidak pernah menyentuh alat-alat
produksi berupa kamera, softwrare – dari kampus – Apalagi diperkenalkan.
Masih sangat jauh dari soal bergantung atau tidak.
***
Mari kita
tinggalkan sejenak paragraf-paragraf di atas. Ada yang jauh lebih menarik
daripada itu. Apalagi kalau bukan soal
wacana UIN yang terlanjur booming.
Detik-detik
alih status IAIN menuju UIN bukan lagi menjadi rahasia umum. Beberapa waktu
lalu, wacana tersebut mulai mengundang pro
dan kontra. Baik dari kalangan mahasiswa, ataupun dosen. Tak terkecuali kami
– UKM Jurnalistik, LPM Humanika. Lewat tulisan ini, saya yang juga merupakan
anggota dari UKM ini, ikut angkat suara mewakili pihak-pihak lainnya.
Kebebasan berpendapat.
Sebelum tim visitasi datang, tepatnya di malam
hari. Birokrasi kampus seolah-olah was-was dengan berbagai macam pihak yang
akan mengkritik soal peralihan status ini. Beberapa panitia peralihan status
IAIN menuju UIN berjaga-jaga agar kampus bernuansa islami itu tetap kondusif
dari serangan kritik mahasiswa. Bahkan sempat ada yang mengatakan dari oknum
persiapan peralihan status bahwa jangan ada riak-riak menolak alih status ini.
Jika pun ada, maka siapapun harus siap di penjarakan. Dan benar saja. Salah
seorang mahasiswa Fakultas Ushuludin, segera berurusan dengan pihak kepolisian setelah
dilaporkan hanya karena mengutarakan pendapatnya di media sosial atas peralihan
status tersebut. Bukan hanya saya, bahkan beberapa mahasiswa di jurusannya pun
kaget, kalau hal tersebut benar terjadi. Meskipun tidak sempat bertemu dan
memintai keterangan mahasiswa tersebut, bisa dipastikan hal yang dilakukan oleh
birokrasi kampus adalah pembungkaman.
Beberapa
waktu lalu juga pernah terjadi hal serupa, oleh masyarakat sipil, salah seorang
jurnalis kami dipukuli hanya karena pemberitaan. Lalu saat ini juga, wacana
soal pembekuan LPM Humanika terus ada, apalagi kalau sampai mereka (birokrasi)
dapati kami mengkritik peralihan status
tersebut lewat tulisan.
Kalaupun
iya, biarkan kami (sebagai mahasiswa) menyampaikan segala bentuk kebenaran yang
ada. Jangan di umpal. Sebab kampus seyogianya
memaklumi kebebasan berpendapat.
Kejauhan ngomong UIN, Nyampah aja masih.
Soal sampah
misalnya. Khususnya pembuangan sampah yang terbilang nihil dan terkesan kurang
diperhatikan. Coba hitung, ada berapa jumlah tong sampah di IAIN Sultan Amai
Gorontalo saat ini? Di kampus satu jauh lebih parah. Hanya ada satu atau dua
tong kecil. Dan sampah yang sebenarnya tidak di situ. Tapi di kolong-kolong
jendela, di samping kelas, kantin. Sampah itu jelas bertumpuk banyak karena memang tidak ada yang
memperhatikan kondisi sampah tersebut.
Dua tahun
lalu, seingat saya, LPM Humanika pernah mengkritik hal itu lewat
pemberitaannya. Tapi apa? Hingga pada dialog kemarin, saya memastikan hal itu
dengan bertanya pada salah satu pimpinan birokrrasi mengenai hal di atas, ia
justru menjawab, “siapa pun bisa saja mencari-mancari kekurangan dari kampus
ini.” Padahal, saya menyampaikan hal itu dengan cukup serius. Di sini semakin
jelas bahwa sikap birokrasi kampus tidaklah serius dalam menanggapi pemberitaan
tentang isu linkungan tersebut. Mereka cenderung fokus pada pembangunan yang
lebih besar, pembuatan gedung baru, penebangan pohon, lalu selanjutnya
dihabiskan dengan mengurus berbagai macam administrasi. Begitu seterusnya.
Dengan
catatan kecil di tangan kiri saya, saya menulis dan menyampaikan kesimpulan atas
dialog tersebut, “kalau sudah seperti ini, lantas, apa yang bisa kita
harapkan dari kampus ini?” Dan kemudian di tanggapi langsung oleh pihak
birokrat, tentu dengan jawaban yang cukup politis.
Kurang percaya diri.
Saya berani
bilang, dari sisi lain, menurut klasifikasinya, mahasiswa yang masuk tiap
tahunnya di IAIN SAG terbagi atas beberapa faktor. Di antaranya adalah : 1. Biaya kuliah yang terbilang murah, 2. Telat
mendaftar di perguruan tinggi lain, bahkan, kemungkinan terburuknya adalah, 3. karena
tidak lulus ujian SBMPTN di Universitas lain. Selain dari itu, mungkin
mereka memilih karena kepentingan studi agama dan jurusan yang diminati.
Hal
tersebut bisa di ukur dari berbagai macam aspek perkuliahan kita, serta aktivitas mahasiswa kita yang hanya berputar
pada persoalan Pemilihan Mahasiswa (PEMILMA) dan penerimaan mahasiswa baru
setiap tahunnya. Semuanya berorientasi pada politik praktis. Sisanya, hanya
kegiatan-kegiatan seminar dan dialog. Itu pun beberapa diskusi yang selalu
diselenggarakan oleh mahasiswa sangat tidak berkelanjutan atau tidak produktif.
Sebagai
kampus Islam, tentunya mampu menjawab segala macam keterbelakangan ini. Mulai
dari menindaki segala bentuk pungli di setiap penerimaan mahasiswa baru, hingga
di ruang-ruang perkuliahan, yang cenderung membungkusnya dengan kegiatan-kegiatan studi banding ke luar kota,
atau serupanya. Bahkan, dengan sangat marah, saya, atau kita semua, tidak ingin
diingatkan dan dihantui dengan kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi
belakangan.
Kita masih
kurang percaya diri. Sebab kejahatan-kejahatan di atas, masih bisa saja
terjadi. Bahkan, saya tidak bisa membayangkan, bagaimana jika sudah menjadi
UIN? Dengan orientasi mahasiswa yang itu-itu saja, dan kasus-kasus yang sama
setiap tahunnya, yang jauh dari ke-Islaman, dan kita dipaksa menikmatinya.
Meminjam
bahasa Puthut EA, dengan sedkit sentuhan modifikasi. Saya ingin bilang, hidup
ini brengsek. Makin brengsek karena kita kurang percaya diri.
***
Tanpa
melihat dan membayangkan faktor-faktor di atas, wacana UIN sudah terlanjur booming
di telinga kita. Bahkan banyak yang bersiap menyambutnya. Beberapa fakultas
terbaru tampak semacam etalase kefanaan yang katanya, wajah baru kampus hijau
peradaban. UIN Sultan Amai Gorontalo.
Dialog yang di selenggarakan DEMA-I
pada saat itu cukup membuka sisi lain IAIN. Apapun mereka upayakan. Memenjarakan
pun jadi. Intinya, birokrat tak mau diganggu. Mahasiswa pada posisi tidak aman.
Tapi bagi kami, IAIN masih sangat
jauh untuk menjadi UIN. Boro-boro untuk berjalan, mesin pun belum juga hidup
sampai sekarang.
Bravo #Bongkar #Lawan
BalasHapus