Drama Di Balik PEMILMA IAIN Gorontalo


Gambar : Karikatur Demokrasi

Oleh Faisal Saidi

Seorang teman dengan tergopoh-gopoh menghampiri saya yang sedang asyik menikmati sore bersama kopi hitam Kotamobagu. Dengan napas tersenggal dia langsung menyodorkan pertanyaan.

“Menurut ente apa itu demokrasi? Ente sudah dengar hasil pemilma kemarin?

Saya memandangnya penuh lotot. Saya putuskan untuk tidak menjawab pertanyaan itu, lalu kemudian saya lanjutkan fokus ke arah handphone, berharap pertanyaan berikutnya tidak lagi mengganggu saya. 

”Ane kutuk kelakuan politik yang model begitu. Apa gunanya coba, diberlakukan pemilihan kalau pada akhirnya hasil dari pemilihan itu sudah jelas diketahui sebelum pemilihan berlangsung? Ini benar-benar keterlaluan. Demokrasi macam apa ini? 

Senang saya hilang seketika oleh pertanyaan-pertanyaan dia yang tiap tahun selalu hinggap di telinga. Dan momen pemilihan Presiden Mahasiswa ini adalah momen menjengkelkan bagi saya. Sebab semua mahasiswa juga dosen dengan gegap gempita memaknai demokrasi kampus yang hasilnya itu-itu saja.

Sekedar menghargai, saya pun merespon keresahan yang dialami teman saya ini. “Ada apa?”
“Begini, cal. Saya ingin ceritakan kejadian kemarin di aula kampus dua, dan juga ulah para tokoh politik kampus, yang konon sebagian mahasiswa menganggap mereka adalah tokoh perubahan. Entah apa yang dirubah. Hanya setahu saya, mereka adalah aktifis yang kerap bersembunyi dalam kredo BERANI MATI TANPA KORUPSI. Aneh, bukan? Begini ceritanya”;
...

Setelah saya tiba di aula rektorat IAIN kampus dua, rasa-rasanya semakin muram saja melihat kondisi aula itu. Waktu itu jam menunjukan pukul 13.25 menit. Saya hanya menjumpai 2 orang panitia pemilihan umum mahasiswa (PPUM) berjaga-jaga di ruangan. Awalnya saya mengira pemilihan Presiden BEM itu sudah mulai, perkiraan saya nihil. Padahal sesuai informasi, pemilihan itu akan berlangsung tepat jam 13.00. akhirnya saya pun membantu panitia tadi menjaga ruangan agar tidak kemasukan angin.

Tepat jam 13.36 menit, ketua PPUM telah tampak dari ujung pintu menuju ruangan/aula. Saya sedikit lega. Karena tentu pemilihan ini akan segera dimulai. Dan tentu saya tidak lagi menjaga ruangan itu. Alat peraga berupa baliho baru dipasang siang itu. Saya sih mafhum dengan tingkah laku mahasiswa yang selalu mempersiapkan segala bahan peraga atau alat pendukung di detik-detik acara akan berlangsung. Karena motto “tiba hari, tiba akal” masih sangat menempel erat dikalangan mahasiswa, nyaris membudaya. Dengan keadaan kantuk berat, kerena semalam saya tidak sempat menikmati mimpi, saya sempat tertidur di kursi sofa milik negara yang kebetulan dititipkan di kampus itu. 10 menit telah berlalu, saya dikagetkan dengan suara lalu lalang mahasiswa. Guna menormalkan tubuh yang tidak maksimal menemui tidur, saya pun tetap memejamkan mata. Dan beruntungya, ada beberapa orang yang duduk tepat disebelah saya tidur tadi, sedang ngobrol soal konstalasi pemilma IAIN. Dan ternyata mereka Senat Mahasiswa Institut (SEMA-I), yang mempunyai hak suara dalam menentukan siapa yang menjadi Presiden nanti – belakangan disebut ketua DEMA-I (Dewan Mahasiswa Institut). Kalau saja saya bangun waktu itu, pasti pembicaraan saat itu lekas berakhir. Tapi karena saya tetap menutup mata, mereka kecolongan menganggap saya masih dalam keadaan tidur, dengan itu akhirnya saya berhasil mencuri informasi yang penting.

Kau tahu, cal. Seperti yang saya bilang di atas tadi. Ternyata yang akan menduduki jabatan Ketua Dema Institut itu sudah terpilih sebelum adanya pemilihan umum. Dan 3 calon ketua Dema yang nanti akan bertarung itu hanya bagian dari pelengkap pemilihan umum yang diselenggarakan oleh PPUM. Tentu motifnya 2 hal, ini hanya sekedar asumsi saya. Pertama; agar terlihat pemilihan ini bersifat demokrasi dan terlihat santun, dua; agar patokan anggaran dibagian penyelenggara pemilu mahasiswa terpakai dan panitia mendapat umpan balik dari uang itu. Wallahu’alam bisshawab.

Ada lagi yang lebih penting dan menjengkelkan, cal. Kau tahu, sebelum pemilihan berlangsung siang itu, 2 orang aktor politik itu, atau lebih sopanya saya sebut sebagai Sutradara itu, mengumpulkan sebagian SEMA-I di salah satu hotel – ini kebiasaan tahun ke tahun sebenarnya, mengumpulkan tim sukses di hotel dan mendesain strategi menang disana. Tahun ini pun hal itu berlaku. Yang paling mengerikan, cal. Ketua PPUM adalah aktor kepercayaan dari Sutradara ini. Luar biasa bejatnya, cal! Bahkan saya pun pernah menemui ketua PPUM dan salah satu calon Dema, serta Sutradara itu menegguk kopi bersama tempo hari sebelum pemilihan berlangsung, cal. Ini kan kurangajar. Belum lagi SEMA-I yang mempunyai hak memilih adalah aktor dari Sutradara ini. Semua, cal. Semua keadaan itu disetting seapik mungkin, serapi mungkin, dan seindah mungkin agar tidak kentara ini adalah by desagn dari Sutradara politik tadi. Anehnya lagi. Pembagian kue atau bagi-bagi jabatan telah dilakukan oleh para Sutradara ini. Barang tentu targetnya adalah UANG. Sistem pemilihan telah berubah tetapi budayanya masih terus ada, cal. 

Mereka adalah aktor hebat, cal. Kalau semisal pemeran film Three Idiots telah meninggal, lalu film itu akan ditayangkan kembali persis halnya film Warkop DKI, maka saya merekomendasikan tiga orang calon DEMA itu yang akan memperankan film Three Idiots itu, lalu disutradai oleh dua pemegang kendali kampus IAIN itu. Sangat seru ketika saya bayangkan, cal. Atau bisa juga membuat film sendiri yang berjudul Three Theives (Tiga Pencuri).


Akhirnya, dengan segenap drama yng dimainkan oleh masing-masing pemeran sore itu, maka jam 16:16 menit, melalui berita acara yang dibacakan oleh ketua PPUM, maka terpilihnya ketua DEMA-I periode 2019 dengan metode aklamasi. Menyenangkan bukan? Dan oleh karena pemilihan itu berjalan lancar, maka sesi foto wajib diadakan. Selain berguna untuk menyimpan momen drama, foto-foto itu juga berfungsi untuk berkeliaran di lini masa sebagai legitimasi golongan.

Saya heran. Apa sih maunya dari 2 orang Sutradara itu? Tiap tahun kelakuanya begitu terus, siklusnya soal uang terus, soal kepentingan terus. Yang tidak enaknya, sikap serta kelakuan seperti itu menjangkiti mahasiswa IAIN. Dengan dalih perubahan, atau perjuangan, mereka menggunakan kader untuk arogansi politik semata. Alih-alih untuk belajar, kepentingan politik mendominasi dari semua hal. 

“Apa tanggapanmu soal ini, cal?’ 

Saya memperbaiki model duduk saya dan membuang napas panjang. Dari semua hal itu, tanggapan saya sederhana. “So bagitu IAIN uti. Tertutup di luar, terbuka di dalam." 


Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Ical so tau, mar Ical badiam😅 tapi diam2 merayap😄😄

    BalasHapus
  3. admin numpang promo ya.. :)
    cuma di sini tempat judi online yang aman dan terpecaya di indoneisa
    banyak kejutan menanti, fans | WA +855 9631562

    BalasHapus

Posting Komentar