OPINI


ESENSI MAHASISWA MATI SEJAK DALAM KANDUNGAN
Oleh Faisal Saidi

Dengan adanya fenomena sumber daya Mahasiswa yang berbasis idealis, intelektualitas, dan kritis ini, banyak menuai hal positif dalam sudut pandang sosial. Sebab gerakan mahasiswa adalah tuntutan zaman. Yang mengandung kebesaran serta rohnya masing-masing. Makanya dalam setiap gerakan mahasiswa punya metode yang berbeda yang berimplikasi pada tujuan dan harapan yang sama. Yakni soal kebebasan dan kesetaraan.
Tuntutan zaman yang dimaksud adalah sebuah gerak mahasiswa yang memiliki unsur kekuatan fundamental. Artinya dalam sebuah pergeseran zaman itu, ada proses gerak yang dilakukan melalui unsur “Keadaan” bersifat memaksa. Sehingga menurut Fauzan Alfas: ”Melakukan gerakan merupakan tugas suci mahasiswa walau dengan resiko karir akademis. Aktifis mahasiswa sering terlantar”.
Di lain sisi, mahasiswa juga memiliki kekuatan kontrol yang besar. Penyandang integritas, tidak beku dalam menerima isu konfensional, serta memproduk berbagai macam solusi – dan itu laris manis di pasar pertumbuhan suatu negara.
Di tahun 1960-an, organisasi kemahasiswaan mulai tumbuh subur di Indonesia. baik itu organisasi berbasis agama, atau organisasi berbasis nasionalis. Dengan membawa azas pancasila, organisasi kemahasiswaan menjadi sumbuh paling ampuh menyeimbangkan situasi politik yang begitu semraut. Dengan suburnya organisasi kemahasiswaan itu, kepekaan dalam gerakan sangatlah menjulang. Sekalipun sedikit berbenturan secara idiologi organinsasi, tetapi organisasi kemahasiswaan melakukan presure secara aktif demi keseimbangan negara Indonesia. Sebaliknya, janji eklusif semu dan rejimentasi orde baru dengan keadaan hegemoni di babat habis oleh mahasiswa. Sampai pada akhirnya bulan madu yang berlangsung selama kurang lebih 30 tahun itu berakhir. Hari ini, masyarakat serius menyantap hari kebebasan (demokrasi). Tidak terkecuali mahasiswa juga ikut melahap lenyap hak berbicara.
Sayangnya, posisi mahasiswa semakin kesini semakin menimbulkan pertanda buruk. Citra mahasiswa agak turun dari sebelumnya. Rasa arogan serta fanatisme kelompok terjadi. Perang klaim mencuat kepermukaan. Distorsi moral membumbuhi zaman, dan egoisme organisasi meninggi. Orientasi organisasi menyeret pada watak politis individualis. Maka karenanya, saya berani berasumsi demikian. Sebab gejolak mahasiswa yang sedemikian memprihatinkan itu telah menjadi rahasia umum. Sebagian mahasiswa sukar menerimanya. Karena faktor cerdik dalam memainkan peran.
Ada 2 poin yang menurut saya mempengaruhi kekerdilan berfikir dan juga gerak mahasiswa di era milenial ini. Tentu tidak  jauh dari budaya khas mahasiswa. Yakni soal rekrutmen dan orientasi.
Pertama, mahasiswa yang berstatus pemula telah di suguhkan  lebih dulu soal produk politik pragtis nuansa kelembagaan. Sekalipun hal itu tidak secara langsung terlihat nyata, namun hal itu bisa kita lihat dengan maraknya proyek politis dalam setiap penerimaan mahasiswa baru di Universitas, Institut, atau di kampus swasta. Potensi pengeroyokan posisi strategis selalu berjalan tidak sehat. Layaknya hukum rimba. Siapa yang kuat dalam mempertahankan posisi, maka dia yang berkuasa. Saya juga tidak paham dari mana kebiasaan itu mulai. Tetapi itulah kejadian di lapangan yang terjadi pada roh mahasisawa modern ini. Makanya, karena cara politik pragtis yang menjamur secara turun temurun. Jangan heran produk yang di hasilkan pun memiliki nilai politik yang kuat. Status mahasiswa pemula yang tugasnya belajar sudah beralih fungsi menjadi penyedor kepentingan senior “mahasiswa lama” di wilayah akademisi atau financiall. Apalagi soal merebut ruang. Tanpa rasa iba sama sekali, mereka rela mengambil hak orang lain demi mewujudkan kemaslahatan versi pemenang arena politik. Sekalgi lagi saya tegaskan. Proses rekrutmen di dasari langkah politik. Produk yang di hasilkanpun akan berasa politik. Esensi mahasiswa mati sejak dalam kandungan.
Kedua,  selain produk politk, orientasi berorganisasi mahasiswa kiranya banting setir. Berhubungan badan dengan birokrasi dalam pencapaian nada yang sama telah lumrah di lakukan. Bukan hanya bercumbu dengan birokrasi. Mahasiswa juga kerap kali menjilat dan bertukar ludah dengan elit partai politik. Ironi memang. Mahasiswa kali ini sudah sulit membedakan mana idioligi dan mana politik. Semua di campur baurkan dengan dalih kekuatan idealisme. Standar kaderisasi bukan lagi soal keilmuan juga gerakan kolektif. Namun lebih condong pada kuantitas agar mendorongnya system “Operasi”. Saya juga belum begitu paham selak beluk kata “Operasi” itu muncul dari mana. Yang jelas itu sudah tidak asing di telinga saya. Dengan kelakuan mahasiswa yang mengerikan itu, saya teringat pada J. Austin pakar linguistik yang pandai dan cantik, dia mengatakan “Manusia adalah animal symbolicum. Sebangsa hewan yang berinteraksi menggunakan symbol”. Maka dengan merujuk pada J.Austin tadi – saya  berani menyimpulkan tanpa tergesa bahwa watak mahasiswa yang memakai symbol ‘Operasi” atau sejenisnya adalah bangsa hewan, lebih tepatnya mahasiswa berwatak hewan – kira-kira begitu gelar yang pantas di terimanya.
Solusinya adalah pemuktahiran paradigma mahasiswa yang paradoksal, pembagian wilayah antara idiologi dan politik, dan menambah saldo keilmuan mahasiswa melalui metode diskusi dan kajian. Kira-kira demikian tawaran solusi dari saya pribadi. Akan terlaksananya hal itu, kalau mental kerja kita (termasuk saya) bahu-membahu dan serius dalam menata.
Semoga dengan solusi yang saya tawarkan itu bisa meminimalisir kekhawatiran Fariz Alniezar dalam tulisanya MUSLIM PENTOL KOREK yang saya kutip kurang lebih begini:  “Lagian kebanyakan mahasiswa kan terbelunggu dalam kredo ‘berani mati, tapi takut lapar’. Sangat mungkin logistik demonstrasi kian hari kian menipis. Bandarnya bangkrut sehingga mereka pensiun dini”.





Komentar