Di Bawah Cengkraman Dosen Mesum

Iren Pontoh, salah satu pembaca puisi (bukan penyintas) pada tadarus puisi "Pelecehan Seksual pada Mahasiswi" Komunitas Lingkar Puisi (KLP), di taman kampus satu IAIN Sultan Amai Gorontalo (1 April 2019). Foto oleh Baim Alpino.

Kisah Pelecehan Seksual di Kampus IAIN Gorontalo

Redaksi Humanika mempersembahkan laporan mendalam tentang pelecehan seksual yang terjadi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo. Kami menemukan banyak korban (selanjutnya akan disebut sebagai penyintas), tetapi mereka takut untuk menceritakan kisahnya karena berbagai alasan. Di antaranya, mereka takut jika mendapatkan ancaman dari dosen, terlebih lagi tidak adanya bukti yang kuat untuk bisa menuntut pelaku. Maka karena belum mempunyai kepastian hukum tersebut, kami menambahkan kata "terduga" sebelum kata "pelaku". Bukan berarti tidak memercayai pengakuan penyintas.

Namun empat orang penyintas bertemu dengan kami dan mau menceritakan kisahnya. Ada beragam cerita pelecehan seksual, bahkan sampai percobaan pemerkosaan. Demi menjaga keamanan penyintas, kami menyembunyikan identitas dengan menggunakan nama samaran. Berikut ini adalah penelusuran kami.

***

Selasa siang, 26 Maret 2019. Setelah membuat janji, saya akhirnya bertemu dengan Andin di masjid kampus IAIN Sultan Amai Gorontalo. Ketika matahari sedang terik-teriknya, kami akhirnya memutuskan untuk duduk di selasar masjid dan mulai memperkenalkan diri masing-masing.

"Saya ingin pelaku dikeluarkan dari kampus, tapi pihak fakultas seakan-akan menutupi kasus,” setelah perkenalan itu, Andin memulai ceritanya. 

Menurutnya, pelaku ini adalah seorang dosen yang juga bernaung pada sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia. Pihak fakultas, katanya, khawatir kasus ini akan berimbas pada nama baik kampus, dan juga nama baik ormas yang memiliki lambang bola dunia yang dikenal sangat menjunjung tinggi toleransi dan keberagaman itu.

Andin bersedia untuk menceritakan kejadian yang menimpanya itu, karena berharap pelakunya bisa diproses secara hukum akibat dari perbuatannya itu. Demi kenyamanannya, saya mengajak Andin pindah ke dalam masjid agar lebih leluasa bercerita.

“Saya tidak menyangka kejadian percobaan pemerkosaan itu menimpa diri saya sendiri,” ujar Andin sedih dan marah.

Awalnya, ia sama sekali tidak punya pikiran apapun ketika disuruh datang ke kontrakan dosen itu untuk mengantarkan tugas perbaikan nilai Ujian Akhir Semester. Sehari sebelum kejadian, Andin dan beberapa kawannya datang ke kontrakan dosen itu untuk melakukan perbaikan nilai. Namun saat itu Andin sedang sakit, ia tidak bisa melakukan perbaikan nilai pada hari itu dan lalu meminta keringanan pada dosen untuk mengumpulkan tugas di hari berikutnya.

"Saya percaya bapak ini tidak akan macam-macam. Apalagi dia seorang Ustaz. Waktu itu kan cuma mau antar tugas, tapi ternyata saya malah ditahan," suaranya sedikit bergetar.

Siang itu Andin mendatangi kontrakan dosen tersebut. Ketika tiba di sana, Andin disuruh masuk ke kamarnya untuk mengantarkan tugas. Alasannya karena di depan kamarnya ada orang yang sedang tidur, dan sang dosen takut mengganggu.

"Saya disuruh masuk ke kamar, dan disuruh duduk di dekatnya. Terus saya langsung kasih tugas itu ke dia dan langsung minta nilai. Dosen bilang: 'gampang itu, temani saya menonton dulu'. Saya lalu duduk, tapi agak berjauhan. Pintu kamar juga terbuka lebar."

Beberapa saat kemudian, ketika lingkungan rumah kontrakan sudah mulai sepi, dosen itu lalu langsung menarik tubuh Andin. Ia berusaha melawan, tetapi badannya kecil dan juga dosen itu terlalu kuat untuknya. Dosen itu lalu mencium bibirnya, Andin marah dan terus berontak. Tubuhnya sempat terlepas dari cengkraman sang dosen, namun ia tak berdaya dan berhasil ditarik lagi.

“Yang ketiga kali itu kepala saya sampai terbentur di lantai dan lalu ditindih. Terus dia mencium bibir saya dan sudah memegang dada. Saya berusaha menggapai apa saja, kemudian saya memukul kepalanya dengan sesuatu yang entah apa itu. Karena itulah saya bisa lepas dan lari," cerita Andin dengan sedih.

Setelah kejadian itu, Andin lalu melaporkan dosen tersebut kepada ketua jurusannya. Dari situ juga dia tahu bahwa ternyata banyak penyintas pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen tersebut. Termasuk seorang teman dekatnya, Sinta, yang mengalami kejadian yang sama bahkan sudah dua kali.

"Karena Sinta itu tidak punya bukti, dosen itu menyangkal dan menuduh itu adalah pencemaran nama baik."

Usai menceritakan kejadiannya, saya lalu mengajak Andin untuk bertemu dengan Sinta. Namun pertemuan kami dengan Sinta di kantin kampus itu tidak berjalan mulus. Sinta terkejut dengan kehadiran saya dari Redaksi Humanika. Sinta tidak mau diwawancarai. Sebab pihak fakultas, katanya, meminta kepada Sinta untuk tidak lagi membahas kasus ini hingga dibiarkan berakhir begitu saja.

Sampai dengan tulisan ini dimuat, saya masih terus berhubungan dengan Andin. Kasus yang menimpanya ternyata telah tersebar di kelas. Akibatnya, Andin sering diolok-olok oleh temannya. Bahkan ada seorang teman yang mengatai Andin sebagai simpanan dosen tersebut. Tekanan seperti ini tidak hanya dilakukan teman-teman sekelasnya, tetapi juga oleh beberapa dosen yang mengetahui perihal kasus ini.

Melalui pesan di Facebook, Andin bercerita bahwa ada seorang dosen yang setiap hari selalu menanyakan hal yang sama: apakah Andin tidak berbohong dan memfitnah pelaku? Lebih parah lagi, katanya, Andin dituduh justru menikmati kejadian itu.

Menurut seseorang kerabatnya, belakangan Andin menjadi lebih tertutup. Begitu juga dengan Sinta. Keduanya juga sering terlihat mengenakan masker, padahal baik Andin dan Sinta adalah orang yang sangat terbuka kepada siapa saja.

Memanfaatkan posisi sebagai dosen

“Kejadiannya sudah lama. Waktu itu saya masih semester satu, dan mau ujian akhir semester,” ujar Yanti mencoba menggali ingatannya.

Kami bertemu dengan Yanti di ruangan kelasnya yang sedang kosong, pada Selasa, 6 November 2018.

“Sebelum ujian, saya disuruh baca quran dulu. Saya bilang kalau saya tidak tahu baca. Tapi dosen bilang ‘tidak apa-apa, coba dulu’. Terus saya bilang tidak bisa. Tiba-tiba kakinya dijulurkan ke depan sampai menyentuh kaki saya. Tapi waktu itu saya berpikir mungkin bapak ini mau meluruskan kaki dan tidak sengaja, lalu saya langsung menarik kaki saya biar tidak bersentuhan.”

Karena tidak bisa membaca quran, dosen tersebut menyuruh Yanti untuk ikut ujian susulan. Yanti pun menyetujuinya. Sebelum keluar ruangan, Yanti menyalami dosen itu. Yanti terkejut ketika dosen itu berlama-lama memegang tangannya. Padahal di kelas dosen itu tidak suka jika ada perempuan dan laki-laki melakukan kontak fisik. Tempat duduk perempuan dan laki-laki pun dipisah. Bahkan sang dosen pernah mengeluarkan dua orang teman Yanti dari kelas karena mereka bercanda sambil melakukan kontak fisik.

Beberapa hari setelah itu, Yanti kemudian mengikuti ujian susulan dengan beberapa orang temannya di kampus dua IAIN Gorontalo. Karena ujian lisan, mahasiswa masuk secara bergantian di ruangan. Sampai pada giliran Yanti, ternyata soal yang ia dapat adalah materi yang tidak ia kuasai. Yanti lalu meminta keringanan dosen untuk memberikannya kesempatan kedua setelah teman-temannya selesai.

“Saya kan minta keringanan, tapi bapak bilang begini: ‘kamu ikut ujiannya besok saja’. Terus saya bilang: ‘Pak, ongkos ke sini mahal, saya cuma diantar sepupu. Jarak kos dan kampus ini jauh. Saya mohon keringanan’. Tapi bapak itu bilang saya disuruh ke sini sama sepupu, pulangnya baru dia antar. Saya menolak. Tetap minta keringanan saja hari ini ikut ujian setelah semua teman-teman selesai. Terus akhirnya bapak membolehkan.”

Yanti lalu diberikan kesempatan untuk masuk lagi ikut ujian setelah semua temannya selesai. Setelah Yanti mengikuti ujian dan menyerahkan kertas tugasnya, dosen tersebut menegur Yanti karena kertasnya yang sudah kusut.

Yanti lalu diminta untuk mengulang menulis tugasnya lagi. Dan Yanti bersikukuh meminta keringanan kepada dosen tersebut, dengan alasan dia harus mengeluarkan biaya lebih untuk mengantarkan tugas ini jika tidak diterima hari itu juga.

Dosen itu lalu meminta Yanti untuk datang dengan diantar oleh sepupu, dan sang dosen bersedia mengantar pulang Yanti. Tentu saja Yanti menolak.

“Ketika saya mau pamit pulang, dosen itu bilang sesuatu tapi saya lupa apa. Yang jelas saya hanya menjawab sekenanya saja seperti bergumam 'hmmm'. Terus sang dosen bilang: kenapa jawabnya hmmm, karena kalau yang jawab 'hmm' itu hanya kalau bibir dengan bibir sedang bertemu. Di situ saya mulai merasa risih, apalagi dia bicara tapi sambil melihat tubuh bagian bawah saya,” cerita Yanti.

Karena merasa tidak nyaman dan mengingat mereka hanya berdua di ruangan, Yanti segera berpamitan dan lalu bersalaman dengan dosen tersebut. Lalu dosen itu bertanya lagi; kenapa hanya cium tangan? Terus ini tidak (sambil menyentuh bagian pipinya).

Yanti sendiri takut melaporkan kelakuan dosen itu, karena ia takut tidak punya bukti yang kuat. Akhirnya Yanti hanya melupakan saja kejadian itu tanpa ada inisiatif lagi untuk melaporkan dosen tersebut.

"Saya tidak berani melapor karena memang tidak ada bukti, takutnya malah dibilang mengada-ada. Padahal dia sering melakukan hal yang sama kepada teman-teman saya, dan juga ada pada beberapa orang senior," ungkap Yanti.

Ajakan panggilan video dan minum kopi 

Awalnya Lia tidak menyangka dosen itu bersikap tidak profesional sebagaimana hubungan dosen dan mahasiswa. Namun Lia sudah mulai curiga ketika menerima pesan WhatsApp dari sang dosen.

“Awalnya dosen saya ini cuma kirim pesan biasa. Saya balas pesannya untuk menghargai dia sebagai dosen. Tetapi lama kelamaan dia mengajak minum kopi. Bahkan beberapa kali menelepon tengah malam, dan mengajak melakukan panggilan video,” kata Lia memulai ceritanya, pada Selasa, 23 Oktober 2018.

Di kelas, tidak hanya Lia yang diperlakukan seperti itu, tetapi ada juga beberapa orang temannya. Ajakan untuk minum kopi atau panggilan video sering ditolak Lia secara halus untuk menjaga perasaan dosen tersebut, namun lama-lama ia merasa risih.

“Saya bilang: ‘pak mohon maaf sebelumnya. Saya selaku mahasiswa dan bapak selaku dosen, jangan terlalu berlebihan. Nantinya pandangan orang tidak bagus.’ Terus dosen saya cuma bilang: ‘oh iya dek, maaf.’ Tapi setelah itu, ajakan untuk minum kopi berdua tetap ada.”

Terkadang Lia tidak merespon obrolan WhatsApp dari dosen itu, tetapi beberapa kali ia membalasnya, hanya menghargainya sebagai dosen. Sekali lagi, Lia menjadi tidak nyaman, karena ulah dosen itu yang sering membubuhi obrolannya dengan emotikon cium.

“Saya bilang ke dosen kalau dia sudah keterlaluan, tetapi dia tidak meminta maaf, hanya dibalas dengan emotikon maaf.”

Lia dan beberapa orang temannya tidak berani melaporkan perlakuan dosen itu. Karena mereka takut nantinya akan berimbas pada nilai kuliah mereka. Dan sang dosen tersebut adalah orang yang sama, yang diduga melakukan percobaan pemerkosaan terhadap Andin.

Modus mengerjakan tugas

“Awal masuk dosen ini bersikap biasa saja, bahkan menunjukkan gelagat tidak suka dengan saya. Pokoknya cuek dengan mahasiswi.”

Kalimat ini diucapkan Ranti, kepada saya, di depan kelas kampus pada siang yang terik, Selasa, 23 Oktober 2018. Ranti bercerita sembari mengingat kejadian yang sudah lama berlalu itu.

Semua itu bermula ketika Ranti dan teman-teman sekelasnya melakukan perbaikan nilai pada dosen tersebut, karena nilai mereka yang tidak memenuhi standar. Ranti kemudian menemui dosen itu di ruangannya untuk meminta perbaikan nilai. Dosen itu malah menyalahkan Ranti yang tidak menguhubunginya via WhatsApp untuk melakukan perbaikan.

Karena merasa bersalah, Ranti meminta nomor dosen tersebut dan langsung mengirim pesan via WhatsApp.

“Saya langsung chat dia saat itu juga, kirim pesan ‘asalamualaikum’. Nah, dari situ dia mulai kirim chat yang aneh-aneh. Saya sering menegur dosen itu, soalnya dia sering chat tengah malam,” Ranti bercerita.

Beberapa kali dosen tersebut meminta Ranti untuk melakukan panggilan video via WhatsApp, namun Ranti terus menolak. Tidak hanya itu, Ranti juga sering diajak minum kopi oleh dosen tersebut, dan tetap saja Ranti menolaknya. Penolakan-penolakan itu membuat sang dosen marah terhadap Ranti. Kejadian ini diketahui oleh teman-teman sekelasnya.

“Begitu kita semua kumpul di ruangannya, saat itu saya ingin sekali memukulnya. Dia bilang sama teman-teman maksudnya datang ke rumah bukan untuk ajak minum kopi, tapi untuk ambil buku. Terus kalau mau melakukan panggilan video, katanya dia lebih suka bicara berhadapan langsung dibanding chat. Dia bikin pembenaran, pokoknya seakan-akan saya yang salah menanggapi. Saya keluar ruangan, masuk toilet, saya manangis. Dia bikin seakan-akan saya yang mengejar dia.”

Beberapa hari setelah kejadian itu, dosen tersebut lalu mengirim permintaan maaf via WhatsApp kepada Ranti. Dia mengatakan bahwa tidak ada maksud apa-apa, dia hanya ingin berteman dengan Ranti. Lalu dia mengajak Ranti datang ke rumahnya untuk mengerjakan tugas, tetapi Ranti menolak. Dari penolakan tersebut, Ranti lalu diberi tugas lebih banyak dari teman-teman sekelasnya. Merasa diperlakukan tidak adil, Ranti kemudian meminta keringanan dari dosen itu.

“Dosen ini bilang tugas itu bisa diringankan, yang penting saya tidak memberi tahu siapa-siapa. Tapi saya tidak mau, takutnya dia nanti bersikap seenaknya sama saya. Terus dia pernah kasih tawaran, katanya tugas itu sebenarnya tidak penting, sekalipun saya tidak memasukkan, tidak masalah. Asalkan saya mau jadi temannya,” ujarnya.

“Setelah tugas selesai, dia minta saya revisi tugas di rumahnya. Tapi saya tidak mau.”

Walaupun sudah mengerjakan tugas yang lebih banyak dari teman-temannya, Ranti justru mendapatkan nilai rendah. Ia kemudian menanyakan perihal nilai yang tidak sesuai melalui pesan singkat. Namun dosen tersebut menyuruh Ranti untuk meneleponnya saat itu juga.

“Dia suruh saya telepon, terus dia cuma cerita panjang lebar tidak jelas. Karena tidak mau lagi berurusan dengan dia, saya WhatsApp dia setelah itu. Saya bilang nilai segitu tidak apa-apa, saya tidak mau lagi bikin perbaikan. Terus saya memblokir nomornya, dan hasilnya nilai saya yang paling rendah di antara teman-teman.”

Ranti mengatakan bahwa ia pernah bercerita mengenai kelakuan dosen tersebut kepada teman-temannya dari kelas lain, dan ternyata mereka juga mempunyai teman yang menjadi penyintas dari dosen yang sama.

Ranti lalu pernah mengadukan sikap dosen tersebut ke bagian akademik. Namun mereka hanya memberikan peringatan terhadap Ranti untuk berhati-hati jika berurusan dengan dosen tersebut.

"Hati-hati dengan bapak itu, dia suka agak centil sama mahasiswi," ujar Ranti menirukan staf akademik yang ditemuinya.

Ranti menyayangkan sikap bagian akademik yang hanya menyuruh mahasiswi untuk menjaga jarak dengan dosen itu, tetapi tidak memberikan tindakan yang tegas.

Jadi rahasia umum

1 April 2019. Sejumlah mahasiswa dari Komunitas Lingkar Puisi (KLP) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo, berkumpul di taman Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). Sebuah hajatan digelar yang disebut tadarus puisi.

Isu yang mereka angkat dalam tadarus puisi kali ini tentang pelecehan seksual yang terjadi di kampus. Satu persatu dari mereka secara bergantian melakukan protes kepada pihak kampus dengan cara membaca puisi.

Peserta menyebut, pihak kampus terkesan menutup-nutupi kasus yang melibatkan dosen. Pembacaan puisi protes itu ternyata menarik perhatian banyak mahasiswa dan mereka ikut bergabung membacakan puisi bernada protes. Protes tersebut sekaligus sebagai aksi kepedulian terhadap mahsiswi yang menjadi penyintas pelecehan seksual.

Penyintas dalam hal ini mahasiswi, takut melaporkan tindakan pelecehan seksual yang dilakukan dosen akan berpengaruh pada nilai mereka. Oleh sebab itu para penyintas lebih memilih diam untuk menghindari hal itu. Terlebih lagi jika sudah ada ancaman dari pelaku sendiri untuk tetap tutup mulut.

“Jika saya menjadi penyintas pelecehan seksual, saya sendiri takut untuk melaporkan karena dia adalah dosen yang punya otoritas. Terlebih lagi jika hanya lewat obrolan Whatsapp, saya takut jika posisi saya sebagai penyintas justru akan menjadi tersangka seperti beberapa kasus pelecehan seksual sebelumnya,” Kata Indah Kono salah satu mahasiswi yang saya mintai pendapat.

Pelecehan seksual yang terjadi di kampus, akhirnya hanya menjadi diskusi-diskusi kecil dalam forum nonformal atau hanya sebagai bahan curhatan. Tidak adanya sikap yang diambil oleh penyintas karena beberapa faktor. Antara lain penyintas tidak mengetahui prosedur pelaporan jika terjadi pelecehan seksual baik verbal maupun non-verbal.

Penyintas takut diancam nilainya oleh dosen jika melaporkan perbuatan mereka. Adanya victim blaming atau sikap yang menyalahkan penyintas, seperti; “ah siapa suruh pakai baju seksi” atau “ah itu kan cuma obrolan biasa, seperti itu kok pelecehan,” dan masih banyak lagi pernyataan-pernyataan bernada serupa yang dialamatkan kepada penyintas, sehingga mereka lebih memilih untuk diam saja dan bahkan menganggap wajar.

Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak orang yang tidak mengetahui kapan hal itu dikatakan sebagai pelecehan seksual dan banyak penyintas tidak sadar bahwa dirinya adalah korban.  Kondisi seperti ini diakibatkan oleh fenomena rape culture atau budaya pewajaran dalam tindakan pelecehan seksual. Seperti yang diungkapkan oleh Kusmawaty Matara, Direktur Women Institute for Research and Empowerment Gorontalo (WIRE-G), ketika ditemui pada 22 Maret 2019.

"Pelecehan seksual adalah tindakan. Misalnya menyentuh bagian tubuh atau mengatakan seperti 'bibirmu bagus', itu maksudnya apa? Itu termasuk pelecehan seksual. Jadi perempuan harus sadar dan tahu seperti apa itu pelecehan seksual," ujar Kusmawaty.

Sementara menurut Asriyati Nadjamuddin, aktivis Salam Puan, bahkan penggunaan emotikon dan percakapan yang berbau seksual adalah termasuk tindakan pelecehan.

Hal senada juga disampaikan oleh Nurhikmah Biga, aktivis Salam Puan, yang juga dosen di IAIN Sultan Amai Gorontalo, ketika ditemui pada Rabu, 12 Desember 2018 lalu.

“Kalau mereka saja gagal menjadi pendidik, bagaimana mahasiswa menjadi orang yang berpendidikan? Jika benar di kampus terjadi pelecehan seksual oleh dosen, penyintas bisa melapor ke pihak akademik atau curhat saja langsung ke dekan. Mungkin segera diberhentikan atau ditegur. Itu yang sangat efektif sebenarnya. Mungkin penyintas merasa malu untuk melapor, tapi kalau memang ada banyak, saya ingin memediasi teman-teman.”

Tidak ada tindakan tegas

Kendati sudah menjadi rahasia umum, tetapi pihak kampus tidak berani bertindak tegas kepada para terduga pelaku pelecehan seksual. Dalam kasus yang dialami Ranti, pihak akademik hanya memberi tahu mahasiswinya untuk berhati-hati, tetapi tidak memberikan teguran berupa sanksi terhadap dosen yang bersangkutan.

Lalu kejadian yang menimpa Andin dan Sinta, hanya berakhir dengan surat permohonan maaf dari oknum dosen dan hanya dipindahkan untuk mengajar di fakultas lain. Melalui penelusuran lebih lanjut, ditemukan oknum dosen tersebut mulai melancarkan aksinya lagi. Ini menunjukan bahwa surat permohonan maaf tidak menjamin apapun. Dikhawatirkan penyintas akan terus bertambah banyak jika pihak kampus tidak serius menangani kasus pelecehan seksual bahkan cenderung menutup-nutupi kasus dan melindungi terduga pelaku dengan berdalih demi nama baik kampus.

"Saya kecewa pelaku tidak di-BAP. Terus di kasus saya, pelaku sudah minta maaf, dan menganggap kasus-kasus sebelum saya juga sudah selesai," ujar Andin.

Lebih lanjut Andin mengatakan bahwa ia khawatir penyintas akan terus bertambah. Karena oknum dosen mesum tersebut adalah salah satu pendiri komunitas sosial di kampus yang membantu meringankan pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa kurang mampu, dan beberapa dari mereka bisa saja menjadi penyintas.

Hal ini seperti membuktikan bahwa kampus sebagai instansi pendidikan gagal menangani pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Kasus-kasus yang muncul di permukaan hanyalah sebagian kecil dari banyaknya kasus yang ada, hal ini terjadi karena penyintas takut untuk melaporkan tindakan pelecehan seksual, malu untuk melaporkan, dan bahkan mendapatkan intimidasi dari dosen.

Tanggapan kampus

Untuk mencari tahu tanggapan pihak kampus, saya lalu menemui masing-masing dekan fakultas yang terdapat penyintas dan terduga pelaku pelecehan seksual, dan juga menemui Wakil Rektor 3, pada Selasa 2 April 2019.

Saya terlebih dahulu mendatangi dekan fakultas dimana terdapat penyintas dan terduga pelaku percobaan pemerkosaan. Saya menemuinya di ruangan kerja dan langusng memperkenalkan diri serta maksud dan tujuan saya. Tetapi dia menolak diwawancarai karena merasa hal ini adalah tanggung jawab pihak rektorat. Dekan malah mengajari saya persoalan etika jurnalis dan bagaimana cara meliput berita dengan baik dan benar.

Setelah itu saya menemui Wakil Rektor III Mujahid Damopolii, yang saat itu sedang melantik pengurus Unit Kegiatan Khusus (UKK) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), di Aula Lembaga Peningkatan Mutu (LPM) IAIN Gorontalo. Kurang lebih selama satu jam, saya menunggu acara selesai dan menemuinya untuk diwawancara.

Dia mengatakan bahwa sampai dengan saat ini pihak rektorat belum pernah menerima laporan mengenai kasus pelecehan.

"Pelecehan seksual adalah perbuatan yang melanggar norma-norma. Jika ada mahasiswa yang merasa dilecehkan oleh siapapun itu, silakan buat laporan berdasarkan prosedur yang ada. Insya Allah kampus akan merespon dengan secepatnya dan membentuk komite etik yang akan memberikan hukuman sesuai aturan yang berlaku," jelas Wakil Rektor.

Saya lalu segera menemui dekan fakultas lainnya di mana terdapat penyintas pelecehan seksual. Tetapi saat itu sang dekan sedang tidak ada di ruangannya. Dari seorang staf bagian akademik, saya mendapat informasi bahwa dekan sedang berada di kampus dua IAIN Gorontalo.

Setelah kurang lebih dua jam lamanya saya menunggu, akhirnya dekan berhasil ditemui. Dalam wawancara singkat itu, dekan juga mengaku bahwa belum pernah menerima laporan mengenai pelecehan seksual yang terjadi di fakultas.

"Jika memang benar ada kasusnya, apalagi pelaku adalah seorang ASN (Aparatur Sipil Negara) dan itu terbukti, maka akan terjadi pemecatan," ujarnya.

Tim Redaksi Humanika